Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
Pesantren Katabah
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Wednesday, October 3, 2012

KERUGIAAN TIDAK LULUS TEPAT WAKTU


KERUGIAAN TIDAK LULUS TEPAT WAKTU

Banyak mahasiswa mengalami kelulusan tertunda. Seharusnya bisa lulus tidak lebih empat tahun, ini malah nambah dari empat tahun. Faktor penyebabnya bisa karena mahasiswanya yang malas tidak menyelesaikan tugas akhir, bisa juga dosen pembimbing belum menyetujui tugas akhirnya untuk disidangkan.
Ketertundaan kelulusan mahasiswa seringkali hanya mahasiswa yang menanggung malu di hadapan  teman dan keluarganya, bahkan menanggung derita. Dosen seolah tidak ikut peduli tentang hal tersebut, karena dianggap itu semua kesalahan mahasiswa sepenuhnya.
Apakah benar mahasiswa tidak lulus tepat waktu karena kesalahan mahasiswa sepenuhnya? Tidak selalu. Kalau dicermati metode pengajaran dosen jarang sekali yang variatif, seolah-olah semua mahasiswa itu sama. Padahal kita tahu adanya para ilmuwan besar yang kesulitan belajar dengan cara yang umum digunakan oleh manusia lainnya, sebut saja Einstein, Leonardo Davinsi, bahkan anak salah satu pesulap ulung Indonesia pun mengalami kesulitan belajar dengan metode pada umumnya, melainkan harus menggunakan mediasi banyak gambar. Bukankah ini jarang sekali ada usaha dosen yang memikirkannya?
Baiklah, tentang metode pengajaran dosen kita bahas di artikel lain. sekarang mari fokus pada jenis kerugian akibat tidak lulus tepat waktu, tentunya kerugian bagi mahasiswa. Di kepala masing-masing pasti tahu, kalau tidak lulus tepat waktu, seorang mahasiswa akan membayar lagi ke kampusnya. Kalau dirinci kerugian materil tersebut antara lain:
1.      Bayar SPP lagi (walaupun setengahnya)
2.      Bayar kebutuhan sehari-hari sampai lulus
3.      Bayar kebutuhan penelitian, kalau pengumpulan data penelitian belum lengkap
Itu rincian sederhananya. Coba kalau mahasiswa tersebut sudah ngambil cuti kerja. Seandainya ditetapkan mahasiswa tersebut mendapatkan gaji Rp1.500.000 per bulan di tempat kerjanya. Berarti dia sudah tidak menerima gaji selama cuti, ditambah karena belum lulus tepat waktu. Seandainya dia harus mengejar kelulusannya satu semester lagi, berarti dia sudah kehilangan uang sebesar Rp1.500.000 x 6 bulan = Rp 9.000.000. Uang sebesar ini tidak semua mahasiswa menganggap kecil, bahkan bagi sebagian kalangan uang Rp 9.000.000 itu sangatlah besar, dan susah untuk mendapatkannya.
Angka 9 juta di atas baru dipandang dari sisi materil, belum non-materil. Jika dipandang dari segi non-materil, andaikan saja mahasiswa tersebut sudah berkeluarga atau punya tanggungan keluarganya, maka sudah berapa orang yang menderita kerugian karena tidak mampu mendapatkan uang Rp 9.000.000. Bahkan yang ada saja harus dikeluarkan untuk bayar SPP. Lha, itu sudah resiko kuliah dong! Kata siapa, mahasiswa kuliah itu ingin lancar dan ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kerugian non-material lainnya dapat berupa rasa malu yang berlebihan, putus asa karena sudah merasa berusaha semaksimal mungkin untuk lulus tepat waktu, tidak mau lagi bercita-cita karena merasa kuliah itu hanya mengumpulkan penderitaan, tidak percaya lagi pada kampus karena tidak merasakan adanya kasih sayang dari dosen, boleh jadi tidak menganjurkan sanak-keluarganya untuk kuliah karena khawatir susah lulus, dan masih banyak lagi kerugian mental lainnya termasuk TERHAMBAT KARIR KERJANYA.
Seandainya kegagalan lulus tepat waktu disebabkan mahasiswanya yang bermalas-malasan itu memang lebih besar kesalahannya bersumber dari mahasiswa itu sendiri. Akan tetapi, kalau mahasiswa tersebut sudah awal-awal waktu berusaha untuk lulus tepat waktu, tapi masih banyak kesalahan dalam tugas akhirnya, maka dosen harus bermain dalam penilaian tugas akhir. Bukankah kelulusan pada semua matakuliah merupakah salah satu bukti mahasiswa tersebut serius dalam kuliahnya? Jadi solusinya peran dosen lebih besar pada kelulusan mahasiswa tersebut, tinggal nilainya tidak boleh disamakan dengan nilai mahasiswa cerdas lainnya.
Tidak bisa menutup mata, ada mahasiswa yang lulusnya banyak dibantu oleh orang di sekitarnya. Misalnya saja, jurusan komputer. Pada jurusan ini seorang mahasiswa bisa saja hanya mampu menyusun skripsinya tanpa program aplikasi komputer, sehingga program tersebut minta dibuatkan oleh temannya atau orang lain. Bukankah ini jarang ditemukan oleh dosen pembimbing dan pengujinya karena ketika ujian mahasiswa tersebut bisa menjawab berbagai pertanyaan yang diarahkan kepadanya? Kalau seperti ini, di mana harganya usaha mahasiswa yang berusaha mengerjakan skripsinya sendiri? Bukankah kita harus lebih menghargai proses daripada hasil? Jangan-jangan hal ini tidak kita sadari.
Perlu diingat bahwa lulus tepat waktu itu lebih besar positifnya bagi mahasiswa yang sudah berusaha untuk lulus tepat waktu. Dia bisa menata karirnya, bisa menjalankan rencana selanjutnya, bisa mengusahakan untuk keluarganya yang mau kuliah, bisa memotivasi generasi penerus untuk kuliah, dan lain-lain. Kita tahu, cukup banyak mahasiswa yang kehilangan semangatnya ketika tugasnya salah melulu tanpa petunjuk yang dapat dipahaminya.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

No comments:

Post a Comment