KERUGIAAN TIDAK LULUS TEPAT WAKTU
Banyak mahasiswa mengalami kelulusan tertunda. Seharusnya bisa lulus
tidak lebih empat tahun, ini malah nambah dari empat tahun. Faktor penyebabnya
bisa karena mahasiswanya yang malas tidak menyelesaikan tugas akhir, bisa juga
dosen pembimbing belum menyetujui tugas akhirnya untuk disidangkan.
Ketertundaan kelulusan mahasiswa seringkali hanya mahasiswa yang
menanggung malu di hadapan teman dan
keluarganya, bahkan menanggung derita. Dosen seolah tidak ikut peduli tentang hal
tersebut, karena dianggap itu semua kesalahan mahasiswa sepenuhnya.
Apakah benar mahasiswa tidak lulus tepat waktu karena kesalahan
mahasiswa sepenuhnya? Tidak selalu. Kalau dicermati metode pengajaran dosen
jarang sekali yang variatif, seolah-olah semua mahasiswa itu sama. Padahal kita
tahu adanya para ilmuwan besar yang kesulitan belajar dengan cara yang umum
digunakan oleh manusia lainnya, sebut saja Einstein, Leonardo Davinsi, bahkan
anak salah satu pesulap ulung Indonesia pun mengalami kesulitan belajar dengan
metode pada umumnya, melainkan harus menggunakan mediasi banyak gambar.
Bukankah ini jarang sekali ada usaha dosen yang memikirkannya?
Baiklah, tentang metode pengajaran dosen kita bahas di artikel lain.
sekarang mari fokus pada jenis kerugian akibat tidak lulus tepat waktu,
tentunya kerugian bagi mahasiswa. Di kepala masing-masing pasti tahu, kalau
tidak lulus tepat waktu, seorang mahasiswa akan membayar lagi ke kampusnya.
Kalau dirinci kerugian materil tersebut antara lain:
1.
Bayar SPP lagi (walaupun setengahnya)
2.
Bayar kebutuhan sehari-hari sampai lulus
3.
Bayar kebutuhan penelitian, kalau pengumpulan
data penelitian belum lengkap
Itu rincian sederhananya. Coba kalau mahasiswa tersebut sudah ngambil
cuti kerja. Seandainya ditetapkan mahasiswa tersebut mendapatkan gaji
Rp1.500.000 per bulan di tempat kerjanya. Berarti dia sudah tidak menerima gaji
selama cuti, ditambah karena belum lulus tepat waktu. Seandainya dia harus
mengejar kelulusannya satu semester lagi, berarti dia sudah kehilangan uang
sebesar Rp1.500.000 x 6 bulan = Rp 9.000.000. Uang sebesar ini tidak semua
mahasiswa menganggap kecil, bahkan bagi sebagian kalangan uang Rp 9.000.000 itu
sangatlah besar, dan susah untuk mendapatkannya.
Angka 9 juta di atas baru dipandang dari sisi materil, belum non-materil.
Jika dipandang dari segi non-materil, andaikan saja mahasiswa tersebut sudah
berkeluarga atau punya tanggungan keluarganya, maka sudah berapa orang yang
menderita kerugian karena tidak mampu mendapatkan uang Rp 9.000.000. Bahkan
yang ada saja harus dikeluarkan untuk bayar SPP. Lha, itu sudah resiko
kuliah dong! Kata siapa, mahasiswa kuliah itu ingin lancar dan ingin
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kerugian non-material lainnya dapat berupa rasa malu yang berlebihan,
putus asa karena sudah merasa berusaha semaksimal mungkin untuk lulus tepat
waktu, tidak mau lagi bercita-cita karena merasa kuliah itu hanya mengumpulkan
penderitaan, tidak percaya lagi pada kampus karena tidak merasakan adanya kasih
sayang dari dosen, boleh jadi tidak menganjurkan sanak-keluarganya untuk kuliah
karena khawatir susah lulus, dan masih banyak lagi kerugian mental lainnya
termasuk TERHAMBAT KARIR KERJANYA.
Seandainya kegagalan lulus tepat waktu disebabkan mahasiswanya yang
bermalas-malasan itu memang lebih besar kesalahannya bersumber dari mahasiswa
itu sendiri. Akan tetapi, kalau mahasiswa tersebut sudah awal-awal waktu
berusaha untuk lulus tepat waktu, tapi masih banyak kesalahan dalam tugas
akhirnya, maka dosen harus bermain dalam penilaian tugas akhir. Bukankah
kelulusan pada semua matakuliah merupakah salah satu bukti mahasiswa tersebut
serius dalam kuliahnya? Jadi solusinya peran dosen lebih besar pada kelulusan
mahasiswa tersebut, tinggal nilainya tidak boleh disamakan dengan nilai
mahasiswa cerdas lainnya.
Tidak bisa menutup mata, ada mahasiswa yang lulusnya banyak dibantu oleh
orang di sekitarnya. Misalnya saja, jurusan komputer. Pada jurusan ini seorang
mahasiswa bisa saja hanya mampu menyusun skripsinya tanpa program aplikasi
komputer, sehingga program tersebut minta dibuatkan oleh temannya atau orang
lain. Bukankah ini jarang ditemukan oleh dosen pembimbing dan pengujinya karena
ketika ujian mahasiswa tersebut bisa menjawab berbagai pertanyaan yang
diarahkan kepadanya? Kalau seperti ini, di mana harganya usaha mahasiswa yang
berusaha mengerjakan skripsinya sendiri? Bukankah kita harus lebih menghargai
proses daripada hasil? Jangan-jangan hal ini tidak kita sadari.
Perlu diingat bahwa lulus tepat waktu itu lebih besar positifnya bagi
mahasiswa yang sudah berusaha untuk lulus tepat waktu. Dia bisa menata
karirnya, bisa menjalankan rencana selanjutnya, bisa mengusahakan untuk
keluarganya yang mau kuliah, bisa memotivasi generasi penerus untuk kuliah, dan
lain-lain. Kita tahu, cukup banyak mahasiswa yang kehilangan semangatnya ketika
tugasnya salah melulu tanpa petunjuk yang dapat dipahaminya.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment