Suatu hari
saya ngobrol tentang blog dengan beberapa mahasiswa hingga saya perkenalkan
Kitaabah sebagai alternatif mereka yang tidak minat atau belum mampu membuat
blog sendiri.
Kalimat
“membuat blog sendiri” bukan berarti mendesain saja, tapi kita harus membangun
blog, termasuk memasarkannya, hingga berbuah rupiah.
Tanpa diduga
ada mahasiswa yang berkata bahwa “Saya belum cukup percaya diri mengirimkan
artikel ke Kitaabah.” Padahal mereka sudah menulis di blognya masing-masing.
Apakah
kata-kata mereka itu bentuk penolakan secara halus atau benar-benar tidak pede?
Kalau
penolakan halus, tidak masalah. Tapi kalau benar-benar tidak pede, ini
jawabannya:
Kitaabah itu
dikembangkan untuk menjadi media menulis para penulis pemula hingga terampil.
Apabila Kitaabah mengalami kemajuan yang pesat, maka ada kemungkinan para
penulis pemula yang artikelnya masih belum berkualitas bagus akan menerima
bimbingan yang ramah dari para penulis terampil.
Saya ingat
ke awal-awal blog Kitaabah online. Agak sering saya mengharapkan bahwa blog
Kitaabah itu harus menjadi Sekolah Para Penulis yang membayar penulis sebagai
mahasiswanya.
Mungkin
cita-cita di atas terlalu besar, tapi tidaklah terlalu salah karena kita tahu
kebesaran Wikipedia, Facebook, Twitter, Kaskus, dll. Kalau mereka mau berbagi
penghasilan dari program komersilnya, maka dimungkinkan para penulis akan
kebagian rupiahnya, bukan?
Jadi,
apabila teman-teman ada yang merasa hanya bisa menulis artikel seperti kumpulan
status dari Facebook, tidaklah jadi masalah. Yang jadi masalah adalah kita
tidak mau memulai untuk menulis. Lalu kapan kita mau menulisnya? Apakah kita
hanya puas menjelek-jelekkan bangsa ini yang terkenal dengan rendah
baca-tulisnya? Apakah kita hanya bisa mencaci para plagiator yang berasal dari
kampus-kampus?
Lalu, apa
yang sudah kita tulis?
No comments:
Post a Comment