Hello Katabah!
Tulisan ini cukup
menguras isi kepala. Bagi yang terlalu mudah sensitif atau berkeyakinan dengan
metode tertutup, tidak perlu dilanjutkan membacanya karena Anda akan
tercengang. He..he..
Ini masih oleh-oleh
mudik Lebaran. Di tengah guyuran hujan, kami ngobrol-ngobrol di halaman rumah
dengan saudara dan tetangga. Ada yang sambil minum kopi, air putih, opak,
dodol, dll.
Salah satu obrolan yang
menarik bagi Abah adalah ketika seseorang berkata bahwa “Jumlah shalat menjadi
lima waktu itu adalah politik pencitraan Yahudi”. Hi..hi..kayak kampanye Jokowi
vs Prabowo saja…!
Kenapa?
Karena shalat lima waktu
itu disepakati Allah dan Nabi Muhammad setelah menerima saran dari Nabi Musa.
Kita tahu bahwa Nabi Musa adalah Nabi untuk kaum Yahudi.
Jadi, dengan peran serta
Nabi Musa tersebut, maka kaum Yahudi “memaksa” orang Islam untuk tidak
melupakan jasa-jasa Yahudi, terutama Nabi Musa. Intinya, dalam shalat lima
waktu pun, Yahudi sangat berjasa bagi orang Islam. Bagaimana, Anda setuju?
Sang pembicara, sebut
saja Kang Dadap, melanjutkan ceritanya bahwa cerita Nabi Musa membantu
tawar-menawar jumlah shalat hingga 5 waktu itu sebenarnya hanyalah akal-akalan
cerita Yahudi saja, saudara-saudara….! Tidak ada sumber autentik…!
Ini cukup membuat Abah
tercengang karena sumber yang Abah baca sejak SD memang begitu, Nabi Musa ikut
menyarankan agar shalat itu 5 waktu saja.
Benar atau tidak bahwa
sumber tersebut tidak valid, Abah nyerah karena harus membaca dulu lebih
banyak. Akan tetapi, Abah sedikit berbeda pandangan seandainya sejarah bahwa
Nabi Musa ikut sumbang saran itu benar.
Kalau Kang Dadap dengan
cerita tawar-menawar di atas menunjukkan bahwa yang paling berjasa adalah Nabi
Musa, tapi Abah tetap memandang bahwa
Nabi Muhammad yang paling berjasa.
Kang Dadap balik nanya,
kenapa?
Poin pokok dalam
peristiwa Isra Mi’raj itu kan shalat. Berapapun jumlah rokaat atau waktunya
tetap saja shalat. Seandainya Nabi Muhammad tidak menerima wahyu shalat, maka
Nabi Musa tidak bisa berkontribusi apa-apa tuh. Sampai di sini, Kang Dadap
belum setuju juga….hi..hi…
Abah tambahkan
analoginya begini:
Abah membangun rumah
lengkap (mulai dari lantai, dinding, pintu sampai atap). Maka anggap saja rumah
itu adalah shalat.
Tiba-tiba kakak
menyarankan agar rumah dilengkapi tempat parkir mobil pribadi. Tempat parkir
ini diibaratkan sebagai jumlah shalat 5 waktu.
Seandainya kakak Abah
tidak menyarankan tempat parkir di depan rumah, maka tetap saja Abah sudah
sukses membangun rumah walaupun tanpa tempat parkir.
Jadi, lebih penting
rumah dari tempat parkir, bukan? Karena Abah sedang menjalankan rencana
besarnya adalah pembangunan rumah, bukan pembangunan tempat parkir.
Dalam Isra Mi’raj juga,
Allah sedang melakukan “pembangunan” shalat, bukan jumlah rakaatnya, iya kan?
Sampai di sini, kami
hanya ketawa-ketawa saja karena tidak terjadi kesepakatan. Ha..ha….
Catatan:
Analogi di atas diubah
agar lebih mudah dipahami. Analogi yang sebenarnya saat kami ngobrol adalah
tentang pinjaman ke bank, yaitu: pinjaman ke bank sebagai shalatnya, sedangkan
bunga sebagai jumlah shalatnya.
Baca juga:
No comments:
Post a Comment