Hello Katabah!
Hingar bingar dana desa
rupanya belum membuat desa Cisewu tercinta tempat kelahiranku ikut ramai lagi.
Bahkan seorang warga mengaku sudah bertahun-tahun Cisewu sepi kreativitas
walaupun dipimpin oleh kepala desa yang berbeda (sudah melalui 3 kepala desa).
Desa Cisewu di mata
warganya mirip Indonesia di mata rakyatnya. Sebagian orang suka berkata: “Lebih
enak di jaman Soeharto”. Salah satu warga Cisewu juga berkata: “Lebih enak Pak
Lurah ‘ic’.”. Maaf namanya menggunakan inisial saja ya.
Semasa Abah kecil
(sebelum masuk SD), banyak perlombaan dan hiburan di Cisewu. Beberapa kakak
Abah juga ada yang ikut lomba keagamaan hingga tingkat kabupaten, padahal yang
satu baru usia SD. Ia tampil dengan hapalan Quran (tahfidh). Yang satu lagi
usia SMA, ia tampil dalam lomba pidato.
Selain itu, pertandingan
sepak bola bukan hanya terjadi antar RW, tapi antar sekolah juga ada, minimal
antar MAN Cisewu (Dulu masih swasta) vs SMAN Cisewu. Ini sempat menjadi
persaingan sengit hingga ada yang kecelakaan fisik karena terlalu semangat
nendang bola, eh malah kena betis dan pinggang. Ha..ha…
Abah tahu cerita
persaingan sengit antar MAN dan SMAN Cisewu itu dari kakak yang menceritakan
ayah saat berjuang menumbuhkan semangat sepak bola kepada para siswa SMA
walaupun bukan guru olah raga.
Saat istirahat dari
sepak bola, orang lain dijamu minuman instan, anak-anak MA diberi minum telur
campur madu. Pas masuk ke babak 2, mereka tampil lebih fit dan energik.
Tidak hanya itu,
panggung hiburan pun ramai. Film, wayang, calung dan dangdut dari Bandung masuk
ke Cisewu pula. Walaupun ayah pernah menolak kedatangan sebagian acara hiburan
karena terlalu seksi, setidaknya ada sebagian hiburan yang lolos sensor lokal untuk
warga di kampung tercinta.
Pas Abah remaja, keadaan
semakin sepi. Masa usia SD, pertandingan sepak bola anak-anak dan dewasa masih
ada, terutama dalam rangka memperingati Agustusan. Akan tetapi, perlombaan
lain, seperti cerdas cermat, pidato, dll. nyaris tidak ada (rasanya, benar-benar
tidak ada sih…, bukan nyaris lagi).
Seorang warga yang
sempat ngobrol saat mudik Lebaran tahun 2016 kemarin menilai: “Sepinya lapang
sepak bola Cisewu sejak seorang Lurah memagar lapang tersebut dan mengharuskan
warga membeli tiket untuk menyaksikan acara sepak bola.”
Di satu pihak, hasil
penjualan tiket memang bisa untuk pengembangan lain. Di pihak lain, warga dari
ekonomi lemah tidak bisa menikmati acara gratisan yang biasanya mendatangkan
para penonton berduyun-duyun dari berbagai kampung, bahkan dari desa yang
berbeda.
Kini, lapang sepak bola
desa Cisewu yang biasa dikenal sebagai Lapang Lemah Luhur Cisewu tampak kurang
terurus. “Pertandingan sepak bola pun sangat jarang diadakan dan tidak seseru
di masa lalu.”
Duh, desaku, kampungku….
Semoga engkau segera ceria kembali.
Baca juga:
No comments:
Post a Comment