Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Monday, January 27, 2014

Bagaimana Manusia Belajar: Pengantar Teori Pembelajaran


Diterjemahkan dari:
Linda-Darling Hammond, Kim Austin, Suzanne Orcutt, and Jim Rosso. 2001. How People Learn: Introduction to Learning Theories. Stanford University School of Education. Page: 1-22. Nama file: hplintrochapter.pdf


Episode #1: Bab Pendahuluan
Bagaimana Manusia Belajar: Pengantar Teori Pembelajaran
I.          UNIT GAMBARAN UMUM
Sejarah Teori Pembelajaran
Saya percaya bahwa proses pendidikan memiliki dua sisi—sisi psikologis dan sisi sosiologis—Perbedaan yang sangat besar secara teoritis tidak pernah ditemukan. Walaupun demikian, perbedaan itu menimbulkan elemen-elemen yang berlawanan dalam masalah yang sebenarnya.
John Dewey, In Dworkin, M. (1959) Dewey on Education pp. 20, 91


Teori Pembelajaran Berbasis Filsafat
Orang-orang telah mencoba memahami pembelajaran selama lebih dari 2000 tahun. Para teoritikus pembelajaran telah melakukan debat tentang bagaimana manusia belajar yang dimulai dari paling tidak ketika jaman para filusuf Yunani, Socrates (469-399 S.M.), Plato (427-347 S.M.), dan Aristotle (384-322 S.M.). Perdebatan-perdebatan itulah yang terjadi sampai sekarang dalam berbagai sudut pandang tentang tujuan pendidikan dan tentang bagaimana memotivasi belajar. Secara substansial, strategi-strategi yang sangat efektif untuk pembelajaran tergantung pada jenis pembelajaran apa yang diinginkan dan apa yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran tersebut.

Plato dan salah satu muridnya, Aristotle, adalah orang pertama yang memperdebatkan tentang bagaimana manusia belajar. Mereka bertanya, “Apakah kebenaran dan pengetahuan ditemukan dalam (rasionalisme) kita atau apakah ditemukan di luar diri dengan menggunakan (empirisme) indera kita?” Plato, sebagai seorang rasionalis, mengembangkan kepercayaan bahwa pengetahuan dan kebenaran dapat ditemukan dengan refleksi diri. Aristotle, penganut empirisme, menggunakan inderanya untuk mencari kebenaran dan pengetahuan di dunia  di luar dirinya. Dari dasar empirisnya Aristotle mengembangkan sebuah metode ilmiah pengumpulan data untuk mengkaji dunia di sekitarnya. Socrates mengembangkan metode dialektis untuk menemukan kebenaran melalui percakapan dengan para mahasiwa cerdas (Monroe, 1925). Metode-metode penelitian banyak memperlihatkan asal usul pemikiran Aristotle dan para pengikut garis pemikirannya. Strategi-strategi yang disebut diskursus dan refleksi sebagai tool untuk mengembangkan pemikiran banyak mengarah pada Socrates dan Plato.

Orang-orang Roma berbeda dengan orang Yunani dalam konsep pendidikannya. Pemaknaan hidup tidak banyak menarik minat mereka seperti halnya berkontribusi kepada masyarakat secara praktis, untuk pembangunan jalan raya dan terowongan air. Orang-orang Roma menekankan pendidikan sebagai pelatihan kejuruan, daripada sebagai pelatihan pemikiran untuk menemukan kebenaran. Pendidikan kejuruan modern dan metode magang mengingatkan pada pendekatan bangsa Roma pada pendidikan. Sebagaimana yang akan kita lihat, strategi-strategi untuk mendorong magang (apprenticeships) kognitif itu mengkombinasikan pemodelan yang melekat pada pembelajaran dengan panduan pada diskursus, refleksi, dan penelitian bahwa bangsa Yunani telah menyarankan pelatihan otak.

Ketika Gereja Katolik Roma menjadi sebuah kekuatan besar dalam kehidupan sehari-hari bangsa Eropa (500 M. sampai 1500 M.), pembelajaran dilakukan melalui gereja, melalui para biara, dan melalui sistem sekolah mereka, yang melibatkan universitas-universitas (abad ke-12) yang dibangun pihak Gereja di sepanjang Eropa. Pengetahuan ditransmisikan dari pendeta kepada masyarakat (Monroe, 1925). Pembelajaran yang banyak adalah penghapalan dan resitasi kitab Injil yang dihapal lancar dan pembelajaran melalui magang. Konsep utama dari tujuan pendidikan adalah basis transmisi (transmission-based). Banyak kelas saat ini melanjutkan konsep pembelajaran berbasis transmisi seperti menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, dengan sedikit mentransformasikannya atau menggunakannya untuk tujuan-tujuan baru.

Renaissance (abad ke-15 sampai ke-17) menyegarkan kembali konsep pendidikan liberal Yunani, yang menekankan pendidikan sebagai sebuah eksplorasi seni dan ilmu sastera. Para filusuf Renaissance berjuang untuk kebebasan berpikir, sehingga Humanisme, sebuah kajian nilai-nilai manusiawi yang tidak berbasis agama, lahir. Sekitar abad ke-16 kontrol Gereja Katolik tertantang pada sejumlah bidang, dari Copernicus (1473-1543) yang menyarankan bahwa matahari yang lebih baik dari bumi adalah pusat Tata Surya, hingga Martin Luther (1483-1546) yang menemukan pendidikan sekuler (Monroe, 1925). Dugaan penyidikan dan penemuan individu sebagai basis pembelajaran diperkuat dalam Renaissance. Dalam sebuah pandangan perdebatan ideologis terulang melalui pendidikan untuk keterampilan “basis”—reproduksi fakta-fakta dan keterampilan-keterampilan elementer—vs. pendidikan pemikiran—usaha untuk memahami ide-ide dan menggunakan pengetahuan untuk tujuan-tujuan besar—memainkan kembali konsep-konsep abad pertengahan vs. Renaissance tentang tujuan pendidikan.

Rene Descartes (1596-1650) menyegarkan kembali konsep Plato tentang pengetahuan bawaan (innate knowledge). Descartes percaya bahwa ide-ide ada dalam manusia sebelum pengalaman dan bahwa Tuhan adalah sebuah contoh ide bawaan (innate idea). Dia mengakui bahwa tubuh dapat diapresiasi dan dikaji sebagai mesin hewani, sedangkan akal terpisah dan bebas dari tubuh. Dia adalah salah seorang yang pertama kali mendefinisikan dengan tepat kemampuan lingkungan dan akal untuk mempengaruhi dan menginisiasikan perilaku. Dia juga mendeskripsikan bagaimana tubuh dapat memproduksi perilaku-perilaku yang tidak diharapkan. Penjelasan pertama Descartes tentang tindakan reflek berpengaruh pada psikologi selama lebih dari 300 tahun (Hergenhahn, 1976). Sedangkan penemuan-penemuan ini mendukung karya para psikologis perilaku yang meneliti asal usul perilaku, fokusnya pada akal juga yang mendukung karya para ilmuwan kognitif berikutnya yang meneliti proses pemikiran sendiri.

John Locke (1632-1704) menyegarkan kembali empirisme Aristotle dengan konsep bahwa akal anak-anak adalah sebuah kertas kosong (tabula rasa) yang dibentuk oleh pengalamannya sendiri. Dia percaya akal itu terbentuk dari pengalaman di dunia luar. “Mari kita terka pembentukan akal itu, sebagaimana kami katakan, kertas putih, kosong dari huruf, tanpa ide apapun: Bagaimana ia dibentuk? ... darimana ia memiliki semua materi alasan dan pengetahuan? ... dari pengalaman” (Locke, dikutip dalam Hilgard and Bower 1975). Akal itu mengumpulkan data melalui indera-indera dan menciptakan ide-ide sederhana berdasarkan pengalaman; ide-ide sederhana ini dikombinasikan untuk mengembangkan ide-ide yang kompleks. Locke percaya bahwa pendidikan harus menyusun pengalaman-pengalaman untuk para mahasiswa dan bahwa pembelajaran yang esensial  merupakan jenis disiplin yang dapat dikembangkan melalui kajian matematika (Hergenhahn, 1976). Ide bahwa kajian-kajian yang berbeda menghasilkan pengalaman mental dan makna pelatihan yang berbeda mendasari pendidikan seni liberal berbasis disiplin.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) adalah salah seorang filusuf pertama yang menyarankan bahwa pendidikan harus diterapkan pada anak-anak. Dia mengemukakan konsep masa anak-anak dan merasa bahwa anak-anak harus diijinkan untuk berkembang secara alami. “Hanya kebiasaan yang boleh dilakukan anak-anak untuk memendekkan tidak adanya kebiasaan.” (Rousseau, dikutip dalam Hilgard and Bower, 1975) Dalam novel Rousseau, Emile (Rousseau, 2000), pahlawan yang mengkaji tentang kehidupan melalui pengalaman hidupnya. Ide-ide kompleks dibangun mulai ide-ide sederhana yang dikumpulkan dari dunia sekitarnya (Hilgard and Bower, 1975). Filosofi-filosofi berorientasi anak dari Dewey, Montessori, Piaget, dan yang lainnya berada dalam bagian pandangan yang serupa.

Kant (1724-1804) memperhalus dan memodernkan teori rasionalis Plato dengan usulnya bahwa pengetahuan “a priori” adalah pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Bagi Kant, kesadaran pengetahuan bisa dimulai dengan pengalaman tapi pengetahuan sudah ada sebelum pengalaman. Kant mendukung bahwa ide-ide ini harus bawaan, dan tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah struktur organisasi untuk data yang diterima melalui indera-indera. Kant juga adalah salah seorang yang pertama mengakui proses-proses kognitif akal, ide bahwa akal merupakan bagian dari proses pemikiran dan mampu berkontribusi terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan. Teori pembelajaran ini membuka pintu bagi Piaget dan lainnya yang akan lebih jauh mengembangkan ide-ide kesadaran/cognition (Monroe, 1925).

Teori Pembelajaran Berbasis Psikologi
Abad 19 telah menghadirkan pembahasan tentang kajian ilmiah pembelajaran. Berawal dari pemikiran Descartes dan Kant, dan terutama pengaruh Charles Darwin, para psikologis telah melakukan uji objektif untuk mengkaji bagaimana manusia belajar, dan untuk menemukan pendekatan pengajaran yang terbaik. Abad 20 perdebatan tentang bagaimana manusia belajar telah sangat fokus pada psikologi behaviorist vs. kognitif. Para psikologis bertanya, Apakah manusia dapat dikatakan mamalia sangat maju yang bereaksi berdasarkan mekanisme respon rangsangan, atau benar-benar makhluk kognitif yang menggunakan otaknya untuk membangun pengetahuan dari informasi yang diperoleh melalui pancaindera?”

Edward Thorndike (1874-1949) dianggap sebagai psikologis pendidikan modern pertama yang menemukan pendekatan ilmiah tentang kajian pembelajaran. Thorndike percaya bahwa pembelajaran itu inkremental dan bahwa manusia itu belajar melalui pendekatan trial-and-error (coba-coba). Teori-teori behaviorist-nya tentang pembelajaran tidak memandang bahwa pembelajaran terjadi sebagai hasil konstruksi mental. Bahkan dia mendeskripsikan bagaimana koneksi-koneksi mental dibentuk melalui respon-respon positif terhadap rangsangan tertentu. Bagi Thorndike, pembelajaran itu berbasis pada sebuah asosiasi antara pengaruh panca indera dan dorongan untuk bertindak. Thorndike lebih menyukai pembelajaran aktif siswa dan membangun lingkungan untuk menjamin rangsangan tertentu yang akan “memproduksi” suatu pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975).

Ayah behaviorisme modern, B. F. Skinner (1904-1990), telah mengembangkan teori pembelajaran Thorndike’s Stimulus-Response. Skinner bertanggung jawab terhadap pengembangan pembelajaran terprogram (programmed learning) yang berbasis pada penelitian respon rangsang-nya terhadap tikus dan merpati dalam eksperimen-eksperimen yang menghasilkan penguatan positif terhadap respon-respon yang “tepat”.  Dia memandang bahwa pembelajaran itu merupakan hasil perilaku-perilaku yang diinginkan, dan menolak pengaruh apapun dari proses-proses mental. Programmed learning telah memberikan penguatan yang tepat terhadap siswa, menekankan adanya penghargaan dibanding sanksi (reward over punishment), menggerakan siswa dengan langkah-langkah kecil melalui keterampilan-keterampilan diskrit dan membolehkan siswa bergerak pada kecepatannya masing-masing. “Terdapat pertanyaan-pertanyaan tertentu yang harus dijawab tentang kajian organisme baru apapun. Perilaku apa yang akan disetup? Penguat apa yang dimiliki? Respon apa yang tersedia untuk mendukung program perkiraan progresif menuju bentuk tindakan akhir? Bagaimana memperkuat jadwal yang paling efektif untuk memelihara tindakan agar tetap unggul? Pertanyaan-pertanyaan ini semuanya relevan ketika memikirkan masalah anak yang memiliki kualitas rendah.” (Skinner, dikutip dalam Hilgard dan Bower 1975).

Teori behaviorist learning telah memiliki pengaruh substansial pada pendidikan, mengarahkan pengembangan kurikulum yang terstruktur dan sangat sekuensial, pendekatan pengajaran terprogram, buku catatan, dan tool lainnya. Hal tersebut telah terbukti berguna untuk pengembangan beberapa jenis keterampilan—terutama yang dapat dipelajari secara substansial dengan hapalan melalui reinforcement dan praktek. Fakta-fakta telah bertambah bahwa tugas-tugas membutuhkan pemikiran lebih kompleks dan proses-proses mental lebih tinggi yang tidak biasa dipelajari dengan baik melalui metode-metode behaviorist serta membutuhkan perhatian lebih banyak terkait bagaimana manusia merasa, berproses, dan membuat pendirian tentang yang dialami.

Jean Piaget (1896 – 1980) merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses kognitif developmental, bahwa siswa itu cenderung menciptakan pengetahuan daripada menerima pengetahuan dari guru. Dia mengakui bahwa siswa itu membangun pengetahuan berdasarkan pengalamanannya, dan siswa berbuat demikian berhubungan dengan tingkatan perkembangan biologis, fisik dan mentalnya. Piaget menghabiskan bertahun-tahun mengobservasi anak-anak yang sangat muda dan membuat pemetaan empat tahap pertumbuhan (growth): sensorimotor (sejak lahir hingga kira-kira 2 tahun), preoperational (kira-kira usia 2-7), concrete operations (antara usia 7- 14) dan formal operations (kira-kira usia 11 – 15 dan berlanjut hingga dewasa) (Hilgard dan Bower, 1975). Karyanya menghargai utilitas suatu behaviorally-guided rote learning dan menentang aktivitas lain yang mendukung eksplorasi siswa, esensinya:
Pembicaraan pada umumnya, setelah setiap disipilin harus mencakup satu kesatuan fakta tertentu yang telah diperoleh seperti kemungkinan adanya reaksi terhadap sejumlah aktivitas penelitian dan aktivitas rediscovery, dapat membayangkan keseimbangan penemuan, perbedaan dari subjek ke subjek, antara bagian yang berbeda yang dilakukan dengan hapalan dan aktivitas bebas. Ada kemungkinan bahwa penggunaan mesin pengajaran (teaching machines) akan menghemat waktu… (Piaget, dikutip dalam Hilgard dan Bower 1975).

Ilmuwan Rusia Vygotsky (1896 – 1934) memperluas teori developmental Piaget tentang kemampuan kognitif individu mencakup aspek kesadaran sosial-kultural—yakni, ide bahwa semua pembelajaran terjadi dalam konteks kultural dan melibatkan interaksi sosial. Dia menegaskan bahwa peran budaya dan bahasa bermain dalam perkembangan pemikiran siswa dan cara-cara di mana guru serta kawan membantu pelajar dalam mengembangkan ide-ide dan skill-skill baru. Vygotsky mengusulkan konsep zone of proximal development (ZPD) yang menyarankan bahwa siswa mempelajari pelajaran dengan sangat bagus melebihi pengalamannya dengan bantuan guru dan kawannya untuk menjembatani  jarak dari yang mereka ketahui atau dapat dilakukan secara independen dan yang mereka ketahui atau dapat dilakukan dengan bantuan orang lain (Schunk, 1996). Karyanya ditekankan pada penggunaan pembelajaran diskursus dan kooperatif di dalam kelas, dan teori-teori bantuan atau “scaffolding” yang membantu siswa belajar secara sistematis. Menurut Piaget, para teoritikus pembelajaran developmental telah memperkenalkan pendidikan ide-ide bahwa para guru bisa lebih efektif jika mereka mengorganisasikan pembelajaran sehingga responsif terhadap tahap perkembangan anak, jika mereka menghubungkan pembelajaran terhadap pengetahuan dan pengalaman anak sebelumnya, dan jika mereka menggunakan lingkungan sosial dan alami sebagai peluang-peluang untuk belajar.

Teori Pembelajaran Progresif
The Progressives mencakup ide-ide Piaget tentang perkembangan anak, ide-ide Vygotsky tentang socially situated learning dan konstruksi pengetahuan, dan age-old emphases pada pengalaman dan pemikiran atau refleksi sebagai basis pembelajaran. Mereka berusaha keras untuk mendirikan child-centered school bagi para siswa untuk mendekati pembelajaran melalui pengalaman mereka masing-masing dengan pemahaman bahwa semua pembelajaran itu situasional. Mereka bereaksi terhadap kekakuan sekolah di akhir abad 19 yang fokus pada transmisi pengetahuan. Perdebatan the Progressives, yang berlanjut hingga sekarang, adalah tentang apa yang dimaksud keseimbangan antara sekolah tradisional yang fokus pada transmisi guru dan sekolah modern yang fokus pada pembelajaran siswa dari pengalamannya masing-masing dengan peluang-peluang terbimbing untuk bereksplorasi, menemukan, berkonstruksi, dan berdaya cipta.

John Dewey (1859 – 1952) sepakat dengan Rousseau bahwa pendidikan tidak harus dipisahkan dari kehidupannya sendiri, bahwa pendidikan harus berorientasi anak, dibimbing oleh seorang guru terlatih yang berlandaskan pada pengetahuan pedagogik dan materi pelajaran. Seperti Locke, dia percaya bahwa pengalaman terstruktur dan cara-cara disipliner penyelidikan harus memungkinkan perkembangan pemikiran, sehingga menciptakan dialektik antara anak dan kurikulum yang harus dimanage oleh guru. Tujuan guru adalah memahami syarat mata pelajaran dan kebutuhan anak serta menghasilkan pengalaman pembelajaran untuk memungkinkan siswa memahami kurikulum. Dewey percaya bahwa kemampuan orang untuk belajar tergantung pada banyak hal, salah satunya adalah lingkungan. Dewey, yang mendirikan laboratory school pertama, adalah salah seorang yang pertama kali menyarankan bahwa pembelajaran itu merupakan aktivitas situasional. Seperti Horace Mann (1796 –1859), sekretaris pendidikan pertama untuk negara bagian Massachusetts dan pendiri sekolah umum, Dewey merasa bahwa pendidikan merupakan metode utama kemajuan dan reformasi sosial (Wirth, 1966). “Ketika pendidikan berbasis pengalaman dan pengalaman edukatif dipandang sebagai proses sosial, situasi tersebut berubah secara radikal. Guru menghilangkan posisi eksternal bos atau sifat diktatornya tapi berperan sebagai pemimpin aktivitas kelompok.” (Dewey, 1938)

Di Italia, Maria Montessori (1870 – 1952), memperkenalkan konsep kebebasan pendidikan anak usia dini yang menyediakan lebih banyak peluang untuk ekspresi bebas, menggerakkan anak-anak dari meja mereka, memberikan mereka aktivitas-aktivitas, dan menghormati anak-anak sebagai individu. Seperti Dewey, dia percaya bahwa siswa siswa belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dipilih secara cermat. “Tugas guru adalah mempersiapkan serial aktivitas kultural yang disebar melalui lingkungan yang sudah dipersiapkan secara khusus dan menahan diri dari campur tangan yang berlebihan.” (Maria Montessori, Education for a New World) Montessori melebihi Friedrich Froebel (1782 – 1852), yang sangat bertanggung jawab terhadap penemuan taman kanak-kanak (yang mula-mula ditolak dalam Prusia aslinya), untuk menciptakan K-5th grade child-centered schools (Monroe 1925). Seperti Froebel, Montessori merasa bahwa permainan anak itu merupakan aspek penting dari ekspresi dirinya dan pembelajaran sosial dan kognitifnya, serta bahwa guru harus menjadi pembimbing siswanya daripada menjadi figur-figur yang berkuasa (otoriter). Selain menjadi wanita Italia pertama yang memperoleh gelar kedokteran, dia juga dinominasikan sebagai peraih Nobel Peace Prizes selama tiga kali.

Pembangunan ide-ide progresif, Jerome Bruner (1915 – ) telah mengeksplorasi dugaan-dugaan bahwa matapelajaran memiliki elemen-elemen struktural tertentu—ide dan pendekatan inti untuk pengetahuan dan pemahaman—yang harus mengarahkan pengembangan kurikulum ketika berhubungan dengan perkembangan anak. Bruner mengembangkan ide bahwa jika materi kompleks dipecah menjadi ide-ide esensialnya, semua siswa dapat mempelajari semua matapelajaran. “Semua matapelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam suatu bentuk kejujuran intelektual untuk semua anak dalam semua tahapan perkembangan.” (Bruner, 1977) Bruner mengembangkan konsep kurikulum spiral yang kembali pada matapelajaran yang sama dengan siswa pada titik periodik waktu, tapi pada tiap “spiral” materi secara substansial lebih mendalam berdasarkan permintaan intelektualnya (Hilgard dan Bower, 1975). Sebagian idenya digunakan oleh Seymour Papert sebagai dasar untuk Logo software pada tahun 1980.

Saat ini paraguru memanfaatkan berbagai praktek kelas yang berbasis pada semua ide-ide tentang pembelajaran ini. Teori pembelajaran kontemporer menghargai peran pengalaman dan refleksi bermain pada perkembangan ide dan skill. Para peneliti dan praktisi mengapresiasi bahwa reinforcement dan praktek berperan dalam perkembangan skill, dan demikian juga maksud, usaha, dan alasan kognitif. Mereka menghargai pentingnya tahapan perkembangan; mereka juga mengakui bahwa perkembangan dapat juga didukung melalui interaksi sosial dan strukturisasi pengalaman di dalam zona proximal development atau bidang kesiapan parapelajar. Teori-teori pembelajaran modern menggabungkan peran budaya dan pengaruh lain pada pengalaman dalam pandangan bagaimana manusia membangun pemahamannya dan mengembangkan kemampuannya. Teori-teori kontemporer juga mengakui bahwa konten–sifat dasar matapelajaran sangat berkaitan dengan bagaimana ia dipelajari dan diajarkan dengan cara yang terbaik. Banyak hal karena perbedaan-perbedaan pandangan utama tujuan pendidikan, perdebatan terus berlanjut terkait dengan praktek-praktek pengajaran yang “terbaik”. Ada apresiasi yang lebih besar terhadap fakta bahwa strategi yang berbeda berguna untuk jenis pembelajaran yang berbeda pula. Banyak memikirkan isu-isu yang berkaitan dengan jenis pembelajaran apa yang diinginkan dalam suatu konteks dan kemudian mempertimbangkan tentang strategi apa yang kemungkinan sangat tepat untuk tujuan-tujuan tersebut.

PROSES PEMBELAJARAN
“Dalam the Learning Classroom: Theory into Practice” membahas pokok teori pembelajaran bagi guru kelas untuk mendukung pembelajaran siswanya. Pembahasan ini menunjukkan hubungan antara aspek-aspek fundamental proses pembelajaran, sebagaimana kita pahami saat ini (PLT syllabus, 2001).

Melalui contoh-contoh pengajaran dan pembelajaran secara praktis kita akan mengeksplorasi cara-cara manusia membangun pengetahuan dari pengalaman, membangun pengetahuan utama, dan mengorganisasikan pembelajarannya. Tiap segmen menyoroti fitur proses pembelajaran tertentu atau rentetan ide-ide tentang bagaimana manusia belajar, sedangkan pelajaran merepresentasikan kumpulan ide yang menguatkan dan berhubungan dengan ide-ide lain. Semua ide-ide ini dapat membantu paraguru menetapkan apa yang harus dilakukan di dalam kelas dan memberikan lensa-lensa untuk memahami pertumbuhan, perkembangan, stumbling blocks, dan kesuksesan siswa.

Karya kognitif para psikologis, neurscientist dan para peneliti pendidikan seperti halnya para praktisi yang ahli dibidangnya telah memberikan kita sejumlah pemahaman tentang bagaimana manusia belajar yang memiliki implikasi praktis terhadap pengajaran. Sebagian dari ide kunci tentang proses pembelajaran, yang disoroti di dalam dan melalui segmen-segmen video, dibahas di sini:

Otak Memainkan Sebuah Peran
Pemikiran dipola untuk memproses rangsangan luar, memaknainya, dan menggambarkan koneksi. Kita tahu bahwa ketika ada periode kritis untuk perkembangan motor dan pancaindera, perkembangan otak itu abadi, dan tidak diantisipasi pada saat lahir atau dalam tiga tahun pertama sejak kelahiran. Meskipun demikian, para psikologis mengobservasi bahwa individu mengejar kemajuan melalui rentetan tahapan yang dapat diprediksi dalam perkembangan kognitifnya. Pembelajaran mengubah struktur fisik otak melalui proses interaksi berkelanjutan antara pelajar dan lingkungan eksternal. Perbedaan-perbedaan dalam proses dan performa manusia telah ditemukan berkaitan dengan struktur dan fungsi otak yang berbeda.

Lingkungan Pembelajaran Membuat Sebuah Perbedaan
Manusia belajar dengan mamaknai lingkungan dan rangsangan sekitar. Perkembangan dan pembelajaran perseptual yang lebih besar terjadi dalam lingkungan yang kaya dengan rangsangan dan menghasilkan feedback yang bermanfaat untuk merespon usaha pelajar ketika memperlakukan lingkungan. Sifat tugas-tugas yang dihadapi, cara-cara informasi disampaikan, dan harapan atas keterlibatan para pelajar semuanya berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Tambahan, sifat lingkungan sosial—apakah dan bagaimana para pelajar dapat memodelkan, mendeskripsikan, atau menghasilkan feedback—membentuk proses pembelajaran. Penguatan dari lingkungan dan sifat feedback yang signifikan dapat merangsang atau menggali usaha yang lebih besar.

Belajar Berbasis Asosiasi
Pembelajaran merupakan proses pembentukan koneksi antara yang telah diketahui atau telah dipahami dan informasi baru. Dengan demikian, pengetahuan sebelumnya penting untuk proses pembelajaran. Manusia membuat koneksi dan kesimpulan berdasarkan pemahaman yang telah mereka ketahui dan telah dialami. Dalam satu segi, pembelajaran dapat dipandang sebagai perkara penyandian dan penyimpanan informasi dalam memori, pemrosesan, pengelompokkan dan pengklasteran materi, dan terakhir penggalian kembali informasi ini untuk diaplikasikan pada waktu dan situsi yang tepat. Selama pembelajaran berlangsung, fakta, konsep dan ide harus juga disimpan, dihubungkan dengan fakta-fakta, konsep, dan ide lain yang dibangun. Mengetahui tentang seberapa besar ide dan bagaimana ide-ide tersebut saling berkaitan secara konseptual membantu para pelajar untuk memahami informasi dan mengingat serta menggunakannya dengan lebih fleksibel.

Pembelajaran Berlangsung Dalam Konteks Sosial dan Budaya
Manusia berkelompok itu membuat mereka paham bahwa perkembangannya tergantung dan dipengaruhi dengan apa yang dinilai dan dialami di rumah, dalam komunitas, dan di dalam lingkungan pembelajaran kelas. Budaya mempengaruhi pengetahuan dan pengalaman para pelajar menuju kelas, di mana mereka berkomunikasi, harapan terhadap bagaimana pembelajaran akan berlangsung, dan ide-ide yang mereka miliki tentang pembelajaran yang baik. Konteks sosial yang diciptakan dalam kelas—tempat berkomunikasi, peran guru dan siswa, serta kesempatan untuk kerjasama dibentuk—semua mempengaruhi pemahaman dan konstruksi pengetahuan siswa. Kesesuaian antara konteks kultural, tugas, dan cara komunikasi di dalam dan di luar sekolah mempengaruhi kemudahan para siswa mampu menemukan dan menghubungkan pengalamannya, sehingga memahami pengalaman-pengalaman pembelajaran berbasis sekolah.

Manusia Belajar Dengan Cara yang Berbeda-Beda
Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan individual antar pelajar dapat membantu kita lebih memahami dan lebih mampu mengarahkan proses pembelajaran. Manusia dapat dilihat sebagai pemrosesan sejumlah kecerdasan melebihi kemampuan linguistik dan logikal-matematis yang secara khusus dipelajari di sekolah-sekolah. Para pelajar juga memproses kecerdasan inter- dan intrapersonal, musik, kinestetik, dan kemampuan spatial. Kami juga tahu bahwa para pelajar itu memproses informasi secara berbeda-beda ketika mereka membaca atau melakukan penghitungan matematis, misalnya. Para pelajar itu berproses secara berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menangkap informasi visual, audio, atau kinestetik. Informasi yang tersedia melalui modalitas atau sarana pembelajaran sederhana yang dikembangkan dengan lebih baik akan lebih mudah dipahami dan digunakan.

Manusia Berpikir Tentang Gaya Belajarnya Sendiri, dan Perasaannya
Pemikiran dan perasaan (emosi) membentu proses pembelajaran. Skill metakognitif – mampu berpikir dan memonitor pemikiran itu sendiri—memungkin siswa memanage proses pembelajarannya, mempelajari konsep baru yang berbeda, dan mengatasi masalah secara efektif. Para pemikir metakognitif yang bagus juga otomatis merupakan siswa yang bagus pula; mereka mampu mengatsi frustasi yang biasa terjadi ketika sesuatu membingungkan atau tidak mendukung pembelajaran lebih lanjut. Emosi juga berperan; siswa yang penakut, khawatir, tertekan, atau bingung tidak dapat fokus untuk memproses informasi. Emosi-emosi positif –perasaan percaya diri dan keinginan untuk berusaha keras—membantu siswa berpikir, mengerjakan tugas sekolah, dan memproses pengetahuan baru. Kecerdasan emosional – kemampuan untuk mengenal dan memanage emosi dirinya, mengatasi konflik, memotivasi diri sendiri, dan gigih dalam menghadapi kesulitan – dapat diajarkan pula.

APA YANG BISA GURU LAKUKAN UNTUK MEMBANTU PEMBELAJARAN
Para guru dapat lebih efektif dalam pekerjaannya jika mereka mengajar dengan cara yang sesuai dengan proses-proses alami pembelajaran. Bagaimana bisa kita mengetahui pembelajaran apa yang membantu kita berpikir tentang pengajaran yang efektif? Apa peran guru dalam pembelajaran siswa? Berikut ini penjelasannya:

Pengajaran Merupakan Proses Pengorganisasian Lingkungan
Para guru yang efektif dapat mengorganisasikan lingkungan untuk menghasilkan para siswa aktif dalam belajar dan mengerjakan tugas sendiri serta menjadi pendengar yang baik.         Peluang atas pengalaman pembelajaran yang “aktif”, di mana para siswa diminta untuk menggunakan ide-ide dengan menuliskan dan membicarakannya, membuat model dan demonstrasi, mengaplikasikan ide-ide tersebut ke permasalahan yang lebih kompleks, dan membuat proyek yang membutuhkan integrasi banyak ide, telah ditemukan untuk mendukung pembelajaran yang lebih mendalam, terutama ketika ide-ide tersebut dikombinasikan dengan pengalaman-pengalaman pembelajaran yang reflektif. Para guru dapat mengembangkan aktivitas-aktivitas pembelajaran dengan tujuan, audience serta struktur aktivitas riil mencerminkan keadaan luar lingkungan sekolah. Dengan memberikan kesempatan para siswa untuk menyampaikan ide, konsep, dan hubungannya di depan teman-temannya dapat membentuk lingkungan di mana guru bukan hanya sebagai sumber pengetahuan. Para guru juga dapat mengorganisasikan refleksi pada aktivitas dan analisis ide-ide dan produk-produk yang memungkinkan para siswa dapat mentranformasikan aktivitas ke dalam pemahaman yang lebih luas.

Pengajaran Merupakan Proses Pengorganisasian Pengetahuan, Informasi, dan Aktivitas
Para guru dapat mengorganisasikan informasi dalam sebuah lingkungan dengan memperhatikan bagaimana manusia memproses informasi, dan dengan menghubungkan pembelajaran terhadap pengalaman sebelumnya serta pengetahuan sebelumnya. Belajar dengan memahami lebih memungkinkan terjadi ketika para siswa disediakan kategori-kategori pemahaman, atau konsep, sebagai penentangan terhadap sejumlah fakta yang tidak berkaitan. Dengan menggunakan organisator maju, para guru dapat membantu para siswa menyusun pengetahuan dan informasi agar ide-ide besar dalam sebuah konten menjadi jelas. Dengan pemahaman struktur mata pelajaran yang mereka ajarkan, para guru menghasilkan peta kognitif bagian yang akan dipelajari, mencakup strategi khusus konten, contoh, analogi, dan diagram untuk membuat materi yang bermanfaat bagi siswa dan menunjukkan kesalah-pahaman yang biasa terjadi. Mereka juga dapat mengajar siswa bagaimana cara berpikir dan memonitor pembelajaran serta performa yang mereka miliki dengan menyediakan peluang-peluang untuk mempraktekkan strategi-strategi metakognitif.

Para guru dapat membantu perkembangan pemahaman para siswa dan kemampuannya untuk mengerjakan performa-performa yang kompleks dengan mengorganisasikan proses pemodelan yang sistematis dan mendemonstrasikan bagaimana para pakar menyelesaikan suatu tugas, langkah-langkah scaffolding dalam proses pembelajaran, pelatihan, dan memberikan feedback. Peran dan strategi ini dapat berubah seiring respon terhadap bagaimana siswa berkembang dan berubah.

Pengajaran Merupakan Proses Pengorganisasian Manusia
Banyak belajar yang terjadi dalam kelompok dan antar individu yang terlibat dalam tugas-tugas bersama. Para siswa belajar dari sesama teman dan orang dewasa di luar sekolah seperti dari para guru di kelas. Para guru yang efektif mengorganisasikan peluang-peluang belajar dalam konteks sosial dengan memungkinkan para siswa belajar bersama. Para guru dapat menciptakan pemahaman komunitas di dalam kelas dengan mengembangkan norma-norma yang jelas untuk bertindak, menciptakan lingkungan yang aman secara emosional, memberikan peluang adanya belajar kolaboratif, dan siswa mengajar siswa lainnya. Ini mencakup identifikasi peran para siswa sebagaimana mereka saling berinteraksi dalam tugas-tugas kelompok, pasangan, dan bentuk lainnya, mendukung siswa presentasi, dan memanage kompleksitas berbagai tugas dan aktivitas yang sedang dikerjakan.

Para guru dapat memberikan solusi atas perbedaan di dalam kelas-kelas mereka dengan membantu para siswa menghubungkan antara pengalaman rumah dan pengalaman sekolah mereka, memungkinkan mereka saling mengajar satu sama lain tentang pengalaman mereka (mengembangkan dasar pengetahuan tiap siswa), dan dengan menghasilkan pilihan-pilihan untuk mengikuti aktivitas-aktivitas pembelajaran yang cara yang terbaik bagi mereka.

Para guru juga dapat mengorganisasikan orang dewasa di lingkungan mareka untuk memperbaiki pembelajaran dengan menciptakan kurikulum yang lebih koheren lintas jenjang kualitas dan kelas, dengan berbagi pengetahuan dengan siswa lain untuk meningkatkan daftar pengajaran dan pilihan kurikulum setiap orang, dan dengan mengkolaborasikan dengan kolega-kolega untuk mendukung pemahaman pembelajaran di sekolahnya.

Hubungan Teori dan Praktek
Tantangan pengajaran dapat dipandang sebagai pembangunan jembatan antar pengetahuan yang diwujudkan dalam mata pelajaran, di sisi lain, pemikiran dan motif siswa. Pelajaran ini didesain untuk menjembatani bidang yang dikonteskan antara teori dan praktek, di mana perspektif dibutuhkan, tidak pula mencukupi. Pada tingkat teoritis, pelajaran ini mencakup kontribusi banyak disiplin, seperti psikologi, sosiologi, linguistik, antropologi, dan filsafat. Pada tingkat praktis tidak ada dua keadaan yang benar-benar sama. Belajar untuk mengajar sehingga permintaan yang kita rasakan sulit secara umum dan khusus, menemukan cara-cara untuk memperkaya pengalaman pribadi melalui kajian pengalaman yang lain, mencari wawasan teoritis yang memberikan makna terhadap yang kita lakukan, atau menimbulkan pertanyaan yang bersifat ragu-ragu tentang yang kita pikirkan dan yang kita ketahui (PLT syllabus, 2001).

Definisi Teori
Teori adalah cara berpikir dan model bagaimana sesuatu bekerja, bagaimana prinsip-prinsip dihubungkan, dan apa yang menyebabkan sesuatu bekerja sama. Belajar teori menunjukkan pertanyaan-pertanyaan kunci, misalnya, bagaimana pembelajaran terjadi? Bagaimana motivasi terjadi? Apa yang mempengaruhi perkembangan siswa? Sebuah teori bukan hanya sebuah ide. Ia merupakan ide penjelesan koheren dari sekelompok hubungan yang telah diuji dengan banyak penelitian. Jika ide itu tahan terhadap pengujian, maka teori itu dikatakan memiliki dasar empiris.

Sebuah teori dikembangkan dari pengalaman praktis seperti penelitian. Semua teori yang ada biasanya merupakan salah satu aspek dari proses pembelajaran. Contohnya, Piaget memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif. Dia memperhatikan anak-anaknya dan secara cermat mengobservasi bagaimana mereka belajar sesuatu dan apa yang bisa mereka lakukan. Dari observasi ini, dia menciptakan penjelasan atau teori tahapan perkembangan yang berbeda. Teori tahapan perkembangan Piaget telah diuji dalam ribuan kajian berikutnya.

Teori itu terus dimodifikasi berdasarkan pandangan-pandangan para praktitisi seperti halnya pekerjaan para peneliti. Teori-teori juga saling silang-menyilang satu sama lain. Para teoritikus lainnya telah menguji ide-ide Piaget dengan menguji teori tahapan perkembangannya dari berbagai sudut yang berbeda. Terdapat banyak pendukung terhadap teori tersebut bahwa anak-anak berkembang secara sekuensial dari satu tahap kognitif ke tahap berikutnya. Walaupun demikian, sebagian telah menantang metode dan keterbatasan Piaget bahwa itu hasil dari kajian hanya sejumlah kecil anak. Yang lainnya mengkritik fakta bahwa dia tidak memperhatikan dampak lingkungan pembelajaran, motivasi individu, dan sifat dasar interaksi sosial yang terlibat dalam pekerjaannya. Vygotsky, yang merupakan seorang guru sekolah menengah juga sebagai peneliti, mencatat aspek-aspek pembelajaran siswanya yang menyebabkannya mengembangkan ide-ide teoritis tambahan yang dapat dievaluasi dan diuji oleh yang lainnya. Vygotsky dan para teoritikus lain dibangun berdasarkan teori-teori Piaget dengan memperhatikan konteks sosial proses pembelajaran yang lebih luas.

Teori-teori itu saling berhubungan. Berbagai teori mendeskripsikan berbeda, bagian yang saling berhubungan dari proses pembelajaran yang lebih komprehensif. Di bawah ini visualisasi yang menggambarkan sebagian dari cara-cara di mana teori-teori pembelajaran dihubungkan, dan bagaimana bab-bab dan video vignettes dalam pelajaran ini ditujukan untuk membentuk kesatuan yang lebih terkoneksi.


Menerapkan Teori ke Dalam Praktek
Untuk menerapkan teori-teori pembelajaran ke dalam praktek instruksional, kita harus memahaminya sebagai prinsip-prinsip yang telah teruji dan memiliki suatu kekuatan untuk menjelaskan bagaimana sesuatu bekerja lintas situasi dan konteks yang berbeda. Teori-teori ini dapat memberi kita banyak cara pencarian yang konsisten dalam praktek kelas dan beberapa penjelasan rasional tentang apa yang terjadi. Walaupun demikian, peristiwa-peristiwa dalam kelas dipengaruhi oleh banyak variabel yang berbeda, dan tidak ada teori tunggal yang menjelaskan bagaimana mereka semua muncul dalam lingkungan yang berbeda. Guru memiliki pekerjaan sulit. Dia harus mempertimbangkan berbagai sumber pengetahuan dan teori yang ada, memperhatikan situasi kelas dan siswa yang sangat khusus dia hadapi, dan menetapkan kapan dan bagaimana teori dapat dipraktekkan.

Para guru dalam kelas mengalami apa yang Dan Lortie (1975) sebut “multidimensionalitas dan simultanitas pengajaran.” Setiap siswa, misalnya, membawa idiosyncratic, tantangan unik individu, kepribadian, dan kemampuannya ke dalam kelas. Sebagai seorang guru anda mengalami perbedaan-perbedaan individu siswa. Bahkan jika terdapat persamaan dalam proses-proses perkembangan yang dialami anak usia 7 tahun, atau beberapa commonality pada bagaimana para siswa sekolah atas memproses informasi, setiap ruang kelas, usia sekiolah, dan sejumlah permintaan berbeda dan unik dalam hal-hal tertentu. Guru harus menghargai perbedaan ini dan membangun pada pengetahuan, bahasa, dan budaya sebelumnya. Jika guru membangun sebuah penghubung dari mana siswa memulai kurikulumnya, maka tujuan sekolah seperti itu akan tercapai. Pentingnya perbedaan ini dan makna penjelasannya diberitahukan dengan pemahaman sosiokultural dan teori pembelajaran lainnya (Oakes & Lipton, 1999:370).

Untuk alasan-alasan ini tidak ada persesuaian satu ke satu antara teori dan praktek. Mengintegrasikan teori ke dalam praktek yang melibatkan proses iteratif pengembangan pemahaman mendalam tentang bagaimana manusia belajar dan apa yang mempengaruhi motivasi, apa yang mempengaruhi perkembangan, apa makna dalam konteks sosial, dan bagaimana keluarga dan budaya serta pengajaran semuanya membuat sebuah perbedaan. Bagi para guru, teori menyediakan suatu petunjuk dalam pembuatan keputusan tentang kurikulum dan strategi-strategi pengajaran. Mungkin lebih penting, ia mendukung banyak kepekaan-kepekaan yang memungkinkan seorang guru memberikan pertanyaan yang bermanfaat tentang apa yang mungkin terjadi pada mahasiswanya dan beberapa indikasi tentang hipotesis yang mungkin berguna dalam mengatasi permasalahan tertentu. Teori tidak memberikan guru sebuah kemudahan, mengarahkan jawaban terhadap masalah Johnny atau resep bagaimana mengajar untuk hari Senin. Ia menyediakan beberapa lensa dan pandangan untuk membantu guru menetapkan apa yang akan terjadi pada Johnny dan bagaimana guru membuat perencanaan pelajaran selanjutnya, memberikan materi yang sudah dipelajari dan diajarkan serta apa yang dia ketahui tentang konteks pengajaran yang dimilikinya. Apa yang dilakukan guru masuk ke dalam ruang teori, penelitian, dan personal yang terkategorisasi seperti pengetahuan profesional serta memutuskan bagaimana hal tersebut muncul bersama-sama di dalam kelas.

Guru Juga Teoritikus
Guru harus melakukan penelitiannya dengan baik. Guru yang baik memiliki jenis “pengetahuan praktis personal” yang memungkinkannya memahami apa yang akan terjadi pada siswanya. Dengan memperhatikan para siswa, mengobservasinya dalam tindakan, menguji pekerjaannya, dan berbicara serta mendengarkannya, para guru belajar tentang apa yang membuat siswanya “berkarakteristik” sebagai pelajar. Pengetahuan ini harus digabungkan dengan pengetahuan lain tentang pembelajaran dan siswa secara umum serta dalam konteks yang berbeda.

Penelitian Piaget tidak memberitahu guru tentang apa yang belum dipelajari Samantha dan harus dibaca oleh anak usia tujuh tahun sepertinya. Karya Piaget dapat menyarankan bahwa sangat banyak anak siap membaca ketika usia tujuh tahun dan bahwa guru harus memperhatikan lebih jauh hal lain yang harus diketahui. Para teoritikus lainnya akan memberitahu guru bahwa ada banyak aspek pengajaran yang Samantha telah alami, atau latar belakang bahasa yang telah dia gunakan, atau elemen-elemen motivasi atau elemen sosial yang mempengaruhi pembelajarannya yakni mempengaruhi proses belajar membacanya. Hal tersebut memungkinkan guru dapat menilai kesulitan-kesulitan dan mereka menyarankan strategi-strategi pengajaran khusus untuk Samantha. Guru akan memperhatikan keluasan teori-teori pembelajaran untuk mengembangkan pendekatan yang benar untuk mengajar Samantha membaca.

Guru memiliki pekerjaan menjembatani apa yang harus diketahui oleh profesi tersebut, para peneliti, dan para profesional lainnya serta apa yang harus dilakukan dalam situasi yang berbeda. Guru harus menerapkan teori-teori secara bijaksana dengan pembuatan keputusan yang cermat, diberitahu dengan penyelidikannya, dan tergantung pada pemahamannya tentang situasi yang sedang dihadapi. Marilyn Cochran-Smith & Susan Lytle (2001), Lee Shulman (1993), Gordon Wells (1994), dan yang lainnya mendeskripsikan “guru-peneliti” sebagai guru individu yang menggunakan penyelidikan untuk memahami prakteknya, dan “komunitas sarjana” bekerja sama menciptakan “pengetahuan berbasis praktis” baru tentang pembelajaran dan pengajaran.

Dengan hal ini, guru juga seorang teoritikus. Roland Barth (1990) mengusulkan bahwa semua guru dan pekerjaan dasar dari “organizing principle” atau “framework; merupakan “para pembuat teori” dan mereka “pengguna teori” juga (p.107). Guru berteori tentang apa yang akan terjadi pada dinamika sosial kelas dan apa yang akan terjadi dengan anak-anak individual serta proses pembelajaran khususnya. Susunan pekerjaan yang disumbang oleh para peneliti memberi mereka lebih banyak tool dan sumber daya untuk melakukan teorisasi dan penyelidikan kelas.

II.       Unit Silabus
Unit Pertayaan
·         Bagaimana para filsuf, psikologis, dan pendidik mengajarkan tentang proses pembelajaran ini secara historis?
·         Apa hubungannya antara teori pembelajaran dan praktek pengajaran?

Unit Sasaran
1.      Memperkenalkan siswa dengan pembahasan dan konsep utama dalam sejarah teori pembelajaran.
2.      Memperkenalkan siswa terhadap tema-tema utama dari pelajaran ini dan ide-ide kunci tentang proses pembelajaran dan pembelajaran berbantuan guru.
3.      Membahas hubungan antara teori dan praktek.

BACAAN UTAMA
Bransford, J.D., Brown, A.L., & Cocking, R.R. (1999). How people learn: Brain, mind, experience, and school. Washington, D.C.: National Academy Press.
Chapter 1: Learning: From speculation to science
Oakes, J. & Lipton, M. (1999). Teaching to change the world. New York, NY: McGraw-Hill College.
Chapter 2: Traditional learning theories: Transmission, training, and IQ (pp. 39- 65)
Chapter 3: Contemporary learning theories

BACAAN YANG DIANJURKAN
Dewey, J. (1968, [ 1900] ). The school and society. Chicago: Uni ver si ty of Chicago Pr ess.

III.    AKTIVITAS DAN PENILAIAN
IV.    REFERENSI
Barth, R. (1990). Improving schools from within: Teachers, parents, and principals can make the difference. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Bruner, J. (1960). The Process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press
Cochran-Smith, M. & Lytle, S. (2001). Beyond certainty: taking an inquiry stance on practice. In Lieberman, A. & Miller, L. (Eds.). Teachers caught in the action: Professional development that matters. New York, NY: Teachers College Press.
Dewey, J. (1938). The Experience of education. New York, NY: Simon & Schuster
Hergenhahn, B.R. (1976). An Introduction of theories of learning. Englewood Cliffs, Prentice-Hall, Inc.
Hilgard, E.R. & Bower, G.H. (1975). Theories of learning. Englewood Cliffs, Prentice-Hall, Inc.
Lortie, D. (1975). Schoolteacher: A Sociological study. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Monroe, P. (1925). A Text-book in the history of education. New York, NY: MacMillan Company.
Oakes, J. & Lipton, M. (1999). Teaching to change the world. New York, NY: McGraw-Hill College.
Rousseau, J.J. (2000). Emile. London, UK: Everyman.
Schunk, D. H. (1996). Learning theories. Englewood Cliffs, Prentice-Hall, Inc.
Shulman, L. (Nov./Dec.,1993). Teaching as community property: Putting an end to pedagogical solitude. Change. P. 6-7.
Wells, G. (1994). Changing schools from within: Creating communities of inquiry. Portsmouth, N.H., Heinemann.
Wirth, A. (1966). John Dewey as educator. New York, NY: John Wiley & Sons

REFERENSI TAMBAHAN
Cole, M. & Wertsch, J. (1996). Beyond the individual-social antimony in discussions of Piaget and Vygotsky. Retrieved September 6, 2001, Massey University, New Zealand, The Virtual Faculty Web site: http://www.massey.ac.nz/~alock//virtual/colevyg.html
Funderstanding (1998-2001). About learning. Retrieved September 6, 2001, from http://www.funderstanding.com/about_learning.cfm
Kurzweil, R. (1996) The Age of intelligent machines "Chronology". Retrieved September 6, 2001 from http://www.kurzweiltech.com/mchron.htm
Maria Montessori: A brief biography. Retrieved September 6, 2001, from http://www.montessori-namta.org/generalinfo/biog.html
Learning theories and models. Retrieved September 6, 2001, from http://www.personal.psu.edu/staff/j/l/jll191/knowledgebase/theories/theories.htm



V.       WEBSITE DAN ORGANISASI
Pusat Kajian Dewey
http://www.siu.edu/~deweyctr/index.html
Berbasis di Southern Illinois University di Carbondale, pusat ini menyediakan informasi dan sejarah banyak tentang kehidupan dan penelitian Dewey. Kelompok diskusi dan link tersedia.

            Eksplorasi dalam Pembelajaran dan Pengajaran: Teori ke Dalam Basis Data Praktis
http://tip.psychology.org/
Catatan dari bagian teori pembelajaran online JSU Encyclopedia of Psychology. Terorganisir dengan teori, domain, dan konsep. Menyediakan sumber-sumber ke website lain.

Tentang Pembelajaran
http://www.funderstanding.com/about_learning.cfm
Situs ini menyediakan gambaran umum teori-teori pembelajaran penting dari Funderstanding. Mencakup informasi tentang constructivism, behaviorism, Piaget, Vygotsky, dan yang lainnya.  

Isu dan Debat: Link Teori Pendidikan
http://www.und.ac.za/users/murrell/classrm/theoryed.html
Kumpulan link ke website yang mencakup sejumlah topik teori dan sejarah pendidikan dari Interactive Instructional Material Research and Resources.


The School Improvement Program (SIP)
http://www.ed.gov/offices/OESE/SIP/
School.Improvement@ed.gov
Disponsori oleh U.S. Department of Education, SIP terdiri atas sejumlah organisasi independen yang mendukung reformasi pendidikan.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

No comments:

Post a Comment