Sebagian orang suka sekali mempertahankan pendapatnya tentang
Islam seolah-olah hanya dia atau kelompoknyalah yang paling benar.
Dengan berbekal koleksi buku atau hapalan Quran dan Hadits,
mereka seolah tak mau mengalah terhadap pendapat orang-orang yang berpendapat
tanpa menukil hadits. Menurut saya, ini tidak benar!
Mari kita perhatikan pendapat sangat berani dari guru Cak
Nur, Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa “Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi oleh kaum muslimin
sendiri.” Lebih sederhananya Rahman berkata: “Hadits adalah komentar yang
monumental mengenai Nabi oleh umat Muslim di masa lampau.”
Kalau orang yang menganut paham primitif dan taklid buta
mungkin membaca pendapat Fazlur Rahman akan terperanjat. Wah, ini keterlaluan
nih! Tidak menghargai para perawi hadits!!! “Hadits itu bukan komentar kaum
Muslimin, tapi perkataan Nabi tahu!!!”
Yang saya perhatikan banyak orang menganggap bahwa hadits shahih
itu benar 100%. Namun saya belum yakin kalau benar 100% karena penulisan hadits
itu merupakan hasil dari penelitian para perawinya.
Kalau yang menulis hadits itu Rasulullah sendiri atau
Rasulullah mendiktekan langsung kepada sahabatnya mungkin saya akan percaya
bahwa hadits shahih itu benar 100%.
Berangkat dari kemungkinan adanya kesalahan dari kumpulan
hadits, maka tidak dibenarkan kalau kita merasa paling benar dalam memahami
Islam walaupun kita sudah mampu menghapal semua Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.
Jangankan hadits, ‘kebenaran’ Quran pun tidak dijamin 100%
sehingga menjadikan kita menyombongkan diri. Kok bisa?
Maksudnya begini…
Bukan Qurannya yang salah, tapi…
Meskipun kita sudah hapal dalil Quran dan tafsirnya tentang
suatu masalah yang kita sedang perdebatkan, belum tentu kita termasuk yang
paling benar. Kenapa?
Karena makna Quran dan Tafsirnya itu sangat tergantung pada
kemampuan kita yang memahaminya.
Meskipun tafsir yang kita baca berada dalam kelas tafsir terbaik di dunia,
namun belum tentu kemampuan kita untuk memahami tafsir tersebut sama bagus
(sekelas) dengan ahli tafsirnya, bukan?
Misal, kita membaca tafsir Almisbah karya Quraish Shihab.
Maka pemahaman saya, Anda, para ustadz dan para anggota MUI mungkin berbeda,
kan? Apalagi kalau dibandingkan antara pemahaman saya dan Pak Quraish Shihab
kemungkinan besar berbeda, padahal yang dibaca sama “Tafsir Almisbah”.
Jadi, hindarilah merasa diri paling benar meskipun dalil
Quran dan Hadits sudah hapal di luar kepala! Karena Quran dan Hadits itu tidak
cukup dihapal, namun harus dipahami. J
Sumber:
Fauz Noor. Berpikir Seperti Nabi.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment