Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa agama (Islam) itu
untuk orang yang berakal. Saking hebatnya kekuatan akal sehingga muncul aliran
yang hanya bertumpu pada akal dan wahyu. Ini menjadi perdebatan menarik sampai
kini, bagi para pembelajar Islam yang haus dengan diskusi.
Namun ketika membicarakan tentang rasio, akal atau daya pikir
biasanya muncul perbedaan definisi juga. Ada yang mengatakan bahwa akal itu
mencakup otak saja; ada juga yang mengatakan bahwa akal itu mencakup otak dan
hati.
Perbedaan tentang akal di atas tidaklah aneh karena terjadi
juga pada definisi hati. Hanya terkait dengan hati saja, kita bisa berbeda
pendapat tentang makna hati, qalbu, dada, rasa dan jantung. Inilah otak manusia
yang selalu tak puas dengan ilmu pengetahuan walaupun tahu ilmunya sangat
terbatas.
Kalau sama-sama saja atau setuju-setuju saja sudah saja jadi
malaikat. He..he..
Baiklah kita kembali ke rasio dan percaya. Di sini kita
sepakati saja bahwa orang yang rasional itu yang selalu mengandalkan pemikiran,
logis enggak? Masuk akal enggak?
Jadi, apakah Islam itu selalu rasional?
Jawabannya, Fauz Noor dalam bukunya “Berpikir Seperti Nabi”
menceritakan kembali yang telah diceritakan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid),
yaitu tentang percakapan antara Sutan Takdir Alisjahbana (seorang
ateis/rasionalis di waktu muda) dan Agus Salim (seorang yang cerdas dan agamis).
Berikut ini ringkasan percakapannya:
Takdir: Mengapa masih saja sembahyang? Sembahyang sungguh tak
masuk akal. Saya tak mau dan tak bisa menerima sesuatu yang tidak masuk akal.
Agus Salim: Kalau kamu pulang ke Minang naik apa?
Takdir: Ya naik kapal.
Kemudian Agus Salim menjelaskan cukup panjang lebar:
“Kalau kamu pulang naik kapal berarti tidak konsisten karena
kamu naik kapal itu bukan karena sudah tahu, tapi hanya percaya. Anda percaya
bahwa nahkoda akan membawa Anda ke tujuan (Minang) dengan selamat. Padahal Anda
tidak tahu sekelumit tentang kapal dan kalau harus mempelajari dulu kapal
sebelum pulang, maka mustahil!”
Lucu juga ya kalau dialog orang-orang cerdas? Kenapa orang
secerdas Takdir bisa seolah-olah ‘bodoh’ di depan Agus Salim? Apakah kecerdasan
Takdir terlalu rendah?
Tidak. Takdir adalah seorang yang cerdas juga. Orang yang
ateis itu bukan berarti bodoh. Tapi mereka terlalu dominan menggunakan
rasionya.
Kenapa Agus Salim bisa terpikir tentang ‘percaya’? Mungkin
beliau karena berangkat dari seorang agamawan yang sudah terbiasa menilai
sesuatu atau berpikir dengan mengkombinasikan wahyu, akal (rasio) dan hati.
Kalau hanya mengandalkan rasio, sudah pasti banyak manusia
yang tidak menyembah Tuhan. Memangnya buat apa Shalat, apalagi setelah shalat,
hidup kita masih tetap miskin dan menderita? Iya kan? Makanya enggak cukup
rasio saja untuk memahami agama itu. J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
saya percaya...
ReplyDelete