Para
pakar menilai bahwa website yang dikelola oleh berbagai ekstremis Islam
telah meningkat hingga ratusan beberapa tahun ini. Kemampuan
operasional inovatif didukung oleh teknologi Internet yang merupakan
tantangan nyata bagi usaha-usaha anti-terorisme A.S. Bagaimanapun,
perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada organisasi-organisasi
Islam yang mendanai kampanye informasi, terus-menerus membenci dan
mendiskreditkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sedang situs-situs
ini tidak mungkin secara terbuka menyerukan kekerasan, berbagi kasus
umum dan tujuan bersama organisasi ekstremis adalah kerisauan (worrisome). Penyangkalan sistem Barat dan Islamisasi global di bawah sistem Syariah sering menjadi tema transparan.
Al
Qaeda dan organisasi teroris lain terinspirasi oleh ektremisme Islam
benar-benar merupakan salah satu ancaman yang paling serius bagi
keamanan Amerika Serikat saat ini. Penggunaan pesawat terbang komersial
sebagai alat menyerang target sipil di tanah Amerika sangat tidak
terbayangkan sebelum 11 September 2001. Yang membedakan Al Qaeda dari
teroris-teroris anti-Amerika dekade sebelumnya adalah keberanian dan
kecakapannya dalam mendanai kampanye informasi melawan Amerika Serikat.
New York Times, misalnya, mendeskripsikan Bin Laden sebagai “…master
manipulasi dan lawan propaganda hebat, telah menghabiskan bertahun-tahun
memenangkan banyak hati dan pikiran dunia Muslim” (New York Times 11 November 2001).
Walaupun serangan hebat diarahkan pada kemampuan operasinya dari
pembalasan A.S., tahun-tahun propaganda Bin Laden telah melahirkan buah
sebagai tentara perekrutan yang terinspirasi untuk mewarisi Al Qaeda
menjadi siap panen di seluruh dunia (Hegland 2004, p.1399).
Lebih jauh lagi, Amerika Serikat belum mengembangkan strategi hebat
untuk meniadakan kampanye informasi keras musuh dan penyebaran
ideologinya.
Kelemahan
dari kemajuan ini ironis terjadi ketika “Perang/Operasi Informasi” dan
“kekuasaan pengetahuan” muncul sebagai tema besar militer Amerika selama
10 tahun yang lalu. Walaupun tantangan-tantangan dalam konseptualisasi
dan operasionalisasi strateginya, Amerika Serikat telah berada di garis
terdepan dalam persiapan era perang informasi. Prospek memenangkan
perang tanpa pertumpahan darah dengan menargetkan sistem pengetahuan dan
kepercayaan musuh dengan teknologi informasi yang semakin canggih
terlihat dapat dicapai dengan bergantung pada web sistem informasi.
Dengan menaruh ini dalam kepala, respon A.S., dideskripsikan oleh
seorang penulis sebagai berikut “sedikit demi sedikit, taktis, dan
reaktif malahan strategis, komprehensif dan anticipatory itu lebih
membingungkan (Waller 2002, p. 2).
Sedangkan teknologi baru merupakan aspek penting dari perang informasi yang harus dipertimbangkan lebih jauh. Sebagaimana George J. Stein nyatakan dengan fasih, “Cyberspace bisa menjadi ‘battlespace’ baru, tapi peperangan itu berupa perang pemikiran. Tidak ada yang harus bingung terkait battlespace karena peperang itu” (Stein 1996, p. 176).
Sedangkan komponen psikologis dari konflik itu bukan hal yang baru,
spektrum konflik sudah meluas, melintasi sistem sosial, ekonomi, dan
politik di masa yang akan datang (Arquilla and Ronfeldt 1997, p.28). Dengan demikian, mempersiapkan “pertempuran yang terintegrasi” membentuk konteks politis konflik di level strategis (Stein, p. 177) muncul sebagai tugas kritis.
Douglas H. Dearth menegaskan bahwa “perang akan dilakukan terhadap atribut manusia yang sangat intim: identitas…konflik akan terjadi karena pemikiran manusia” (Dearth 2000, p. 11).
Ancaman ektremisme Islam benar-benar merupakan manifestasi klaim
ramalannya. Terorisme secara fundamental adalah “usaha mengubah
pemikiran manusia” (Tugwell 1992, p. 2).
Sedangkan ancaman kekuatan kinetis dan perusakan fisik diajukan oleh
kelompok-kelompok teroris tidak pernah hilang, peperangan kritik juga
terjadi dalam domain persepsi. Dengan demikian, perhatian serius harus
diberikan pada bagaimana globalisasi teknologi modern memungkinkan musuh
mencapai target yang sangat menguntungkan—pemikiran populasi target.
Fakta
yang mengganggu adalah adanya indikasi jelas bahwa musuh dalam GWOT
memahami dan mengkapitalisasikan keuntungan teknologi informasi,
terutama Internet. Dalam artikel 2002-nya, John Stanton mengekspresikan keprihatinannya atas teroris dan eksploitasi Internet oleh mereka, menyatakan:
Saya yakin bahwa dekonstruksi berkelanjutan abad 20 melanda pemikiran dan institusi, evisceration
skup kekuasaan dan legitimasi pemerintah, redefinisi warga negara, dan
menaruh kepercayaan besar pada Internet membuat peluang teroris tumbuh
subur. Faktor-faktor ini dengan cakap akan dieksploitasi oleh para
teroris yang cerdas dan melek teknologi, yang akan mampu memanipulasi
persepsi publik dengan menggunakan Internet memanfaatkan tendensi sumber
daya informasi sehingga sektor publik dan swasta sulit untuk menentang
propaganda dan tindakan teroris itu. (Stanton 2002, p. 1018)
Terdapat
bukti nyata bahwa banyak organisasi keagamaan pro-Jihad atau
berafiliasi teroris mengambil keuntungan besar dari komunikasi berbasis
Internet dan web. Kepercayaan A.S. pada teknologi informasi modern,
sebagaimana dinamika sosial dan politiknya, membuat negara tersebut
mudah terserang pengaruh berbasis web dari organisasi-organisasi ini.
Sumber:
Dikutip dan diterjemahkan oleh Komarudin Tasdik (2011) dari Daniels (2004).
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment