PERTARUHKAN NYAWA DEMI KULIAH
Kuliah untuk sebagian orang merupakan perjalanan hidup yang biasa-biasa.
Lulus atau tidak lulus, berhasil memahami matakuliah atau tidak paham, bayar
kuliah atau tidak, banyak orang menganggapnya hal biasa dalam dunia perkuliahan.
Akan tetapi untuk segelintir orang, kuliah itu merupakan ‘barang’ mahal,
sehingga menjalaninya penuh kesungguhan. Apabila ada kendala selama
perkuliahan, maka kelompok kecil ini mengangggapnya sebagai masalah besar
sehingga tidak menutup kemungkinkan mereka si kecil ini akan mempertaruhkan
nyawa, bahkan imannya hanya untuk yang namanya kuliah.
Bagaimana kelompok kecil ini bisa mempertaruhkan nyawanya demi kuliah?
Ada segelintir orang yang sangat berharap dengan kuliah akan memperbaiki
situasi ekonomi keluarganya. Hal ini terlepas dari perdebatan tujuan awal
pendidikan tinggi yang berorientasi uang atau tidak. Yang jelas pemikiran di
masyarakat ada yang anggapan apabila sudah kuliah dimungkinkan akan mendapatkan
uang lebih mudah untuk kehidupan sehari-harinya. Demi kuliah, ada juga yang
rela menghentikan sementara karirnya yang sedang dititi, hanya untuk mengikuti
kuliah yang melarangnya sambil bekerja. Dengan pertimbangan inilah, kelulusan
kuliah yang tepat waktu merupakan hal segalanya, karena masih banyak yang harus
dilakukan untuk menata kehidupan keluarga besarnya. Seandainya, kuliah seorang
anggota keluarga diharapkan dapat membantu saudaranya yang lain, maka
ketidaklulusan mahasiswa tersebut akan berpengaruh besar terhadap peluang
adik-adiknya untuk sekolah atau kuliah. Tidakkah orang ini merasa malu karena
tidak lulus? Tentu malu. Walaupun disadari lulus atau gagal tidak terlepas dari
taqdir Tuhan kepadanya. Setidaknya, dosen bisa memperhatikan kemungkinan adanya
mahasiswa seperti kondisi tersebut. Kenapa repot-repot memikirkan mahasiswa
tidak berdaya seperti itu? Kita harus ingat, seringkali kita tidak mengetahui
apakah mahasiswa yang sudah lulus itu benar-benar mengerjakan tugas sendiri
atau banyak dibantu orang lain? Dosen tidak bisa menutup mata terkait hal ini.
Bagamana kelompok kecil tersebut bisa mempertaruhkan imannya? Ya
bagaimana tidak. Kita ingat tidak semua orang punya kebulatan iman yang kuat.
Ada orang yang mengikuti kuliah dengan penuh doa yang dipanjatkan selama
ikhtiarnya yang dilakukan. Dengan adanya doa, maka banyak orang menerima
jawabannya yang positif. Dengan demikian, apabila mahasiswa yang rajin berdoa
tapi kuliahnya tidak lulus-lulus juga, ada kemungkina ia bertanya: Apakah doa
yang ia panjatkan itu benar? Apakah ada tindakan yang menghalangi doanya
terkabulkan? Boleh jadi mahasiswa tersebut putus asa dari doanya, sehingga dia
bingung harus berdoa apa terkait penyelesaian kuliahnya. Tidak sebatas satu
orang mahasiswa bersangkutan saja, boleh jadi akan berimbas kepada teman atau
saudaranya yang lain. Coba bayangkan, jika seorang mahasiswa punya doa “A”,
kemudian dia merasa doa “A” tersebut tidak berhasil membantu kuliahnya, maka
ketika ada orang lain yang bertanya tentang doa apa yang dapat dipanjatkan agar
kuliahnya berjalan lancar, maka mahasiswa tersebut akan kebingungan, dia ragu
memberikan doa “A” karena untuk dirinya sendiri pun tidak dikabulkan. Bukankah
ini akan mengguncang keimanan mahasiswa bersangkutan?
Memang kuliah itu bukan hal istimewa bagi orang kaya dan cerdas, tapi
bagi mahasiswa bodoh dan miskin, tapi punya kemauan untuk maju, kuliah
merupakan hal yang sangat istimewa, yang didapatkannya dengan mengorbankan
banyak harta, waktu, pemikiran dan aspek lain. Semuanya tercurahkan hanya untuk
kuliah, maka tidak pantas kalau kita sebagai dosennya menelantar mereka yang
sudah berjuang dengan mempertaruhkan nyawa dan iman. Sungguh biadab diri ini,
kalau tidak memikirkan nasib mereka melalui proses kemudahan kuliah. Bukan
berarti mahasiswa harus dipermudah dengan cara yang salah, tapi jangan sampai
tersangkut selenehan “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”. Saya
khawatir selenehan ini sering diterapkan di kalangan pendidik, karena mereka
merasa bahwa dulu ketika kuliah, mereka juga merasa sulit untuk menyelesaikan kuliahnya.
Sehingga kesulitannya diwariskan kepada mahasiswanya dengan bumbu-bumbu
“melatih mental”. Saya punya pendapat masih banyak pelatihan mental yang lebih
tepat daripada hanya menularkan kesulitan kuliah kepada mahasiswa. Mudahnya,
analogikan saja, seandainya mahasiswa tersebut anak kesayangan anda, maka
relakah dia tertunda kelulusan kuliahnya, padahal dia rajin belajar.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment