WASPADA DIPANGGIL SHALEH
Dalam berbagai lingkungan, biasanya ada seseorang yang dianggap relatif
paling shaleh dibanding yang lainnya, bahkan kadang-kadang orang di sekitar
seringkali melontarkan panggilan shaleh kepadanya, misalnya: anak shaleh, teman
shaleh, dosen shaleh, orang shaleh, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi di
lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat.
Bagaimana sikap apabila orang lain melabeli shaleh pada diri ini?
Tentunya, merasa malu karena takut tidak seshaleh yang mereka duga, berusaha
untuk berkata yang dapat menghindarkan diri dari “keinginan dipuji” seperti: ah
sama saja dengan yang lain atau alhamdulillah atau terima kasih atau ungkapan
lain. Selain ungkapan di mulut, bagi seseorang yang tidak mau mengharapkan
pujian makhluk dalam setiap tindakannya, hati pun terus berusaha agar tidak
menikmati pujian tersebut karena Allah-lah yang berhak menerima segala pujian
dari makhluknya.
Satu penyakit yang kadang-kadang sulit dihindarkan dari kebiasaan
“dipuji” shaleh, yakni “merasa bahagia ketika mendengar pujian itu”. Mungkin
kalau sebentar saja, itu tidak berbahaya, yang jadi bahaya kalau perasaan
bahagia tersebut terus berada dalam hati. Dengan perasaan tersebut bisa membuat
“orang shaleh” tersebut merasa dirinya shaleh, sehingga bisa jadi menganggap
dia paling shaleh dibanding saudara yang lain dan dia merasa paling banyak
ibadahnya dibandingkan temannya. Ini agak sulit disadari. Bahayanya lagi, dia
menduga akan hidup lebih baik dibandingkan yang lainnya.
Contohnya, karena sering shaum sunnat, dia merasa akan lebih mudah
menjalani kuliahnya. Karena sering shadaqah, dia merasa akan lebih mudah
mendapatkan rizkinya yang banyak. Hal-hal inilah yang sebenarnya akan
membahayakan diri “orang shaleh” itu. Bahaya dimananya? Bahaya ketika orang
yang dipanggil shaleh tersebut menghadapi berbagai rintangan yang tak kunjung
ada solusi, tumbuhlah pertanyaan: “Kenapa hidupku susah begini, padahal dari
dulu saya berusaha untuk dekat kepada Allah?” Nah hati bertanya-tanya seperti
ini, kalau solusi hidup belum ditemukan juga dalam waktu beberapa bulan masa
“stres” memuncak, akan menggoyahkan keimanan orang tersebut. Dia kebingungan di
saat shadaqah, dia ragu ketika shaum sunnat, dia bimbang dengan segala bentuk
ibadahnya karena semula menganggap hidupnya akan mudah, ternyata yang dihadapi hanya
kesulitan demi kesulitan.
Apa yang harus diperbaiki dengan diri ini ketika mengalami hal di atas?
Apakah harus melarang orang lain memanggil shaleh kepada kita? Apakah harus
berhenti dari shaum sunnat, shadaqah dan amal ibadah yang lain? Saya pikir,
biarlah orang lain berkata apa tentang diri kita. Yang harus kita lakukan
berdoa dan berusaha sekuat tenaga untuk TIDAK berpikir bahwa dengan shaum
sunnat dan shadaqah akan membuat hidup lebih mudah. Lupakanlah efek dari ibadah
tersebut. Kita segera ibadah, lupakanlah segera pahalanya! Hapuslah harapan
bahwa dengan shaum sunnat akan memudahkan kita dalam kuliah! Hapuslah harapan
bahwa dengan shadaqah akan memudahkan kita dalam mencari rizki. Kita beribadah
hanya karena cinta kepada Allah, kalau belum bisa karena cinta, lakukanlah
karena kewajiban kepada-Nya!
Harapan kemudahan, kebaikan, kelapangan, memang dibutuhkan untuk memotivasi
diri. Tapi kalau semua harapan selalu tidak terasa kehadirannya, lupakanlah itu
semua. Kita shaum, shadaqah, baca al-Quran atau ibadah yang lainnya semata-mata
karena Allah. Adapun hidup ini akan sulit atau mudah, senang atau sedih,
semuanya kita serahkan saja kepada Allah.
Mari selamatkan diri ini. Di kala diri ini sudah miskin dan bodoh, jangan
biarkan ditambah beban hidup yang lain, hindarkan goyahnya iman, hilangkan
kejengkelan hidup, hilangkah sikap protes kepada Allah, karena semuanya
tidaklah ada untungnya, selain kepala dan hati kita semakin gelap dan gersang.
Jalani hidup ini dengan pasrah, setelah ikhtiar kita “gagal”. Jalani hidup ini
dengan mengubur semua harapan, setelah solusi “tidak ditemukan”. Kita semua
milik Allah SWT.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment