Duplicate
Content Masih Jadi Dilema
Sejak
gencarnya banned masal Adsense, isu pelarangan duplicate content semakin meluas
pula. Sebenarnya, saya belum membaca pernyataan langsung tentang Adsense
melarang duplicate content (maklum tidak rajin baca kebijakan Adsense). Yang
pernah dibaca adalah bahwa duplicate content tidak disukai search engine.
Secara
sederhana, saya pernah membandingkan artikel dari blog gratisan saya yang
di-repost/republish di website berbayar milik orang lain. Maka kadang-kadang,
judul artikel di website berbayar lebih berada di kedudukan lebih atas
dibandingkan yang di blog gratisanku pada halaman Google. Inilah yang menjadi
kerugian blog gratisan saya, karena pengunjung besar kemungkinan akan
berkunjung ke website berbayar tersebut.
Pendeknya,
blog yang terkena duplicate content akan cenderung sepi pengunjung. Akan
tetapi, kalau kita tahu bahwa sumber pengunjung itu tidak hanya dari search
engine, maka masalah di atas tidak berlaku lagi. Boleh jadi pengunjung
menemukan artikel kita dari blog tempat republish kita atau social media yang
kita ikuti. Kalau melihat kejadian ini, maka duplicate content juga bisa menambah
pengunjung ke blog kita, iya kan?
Contoh
konkrit, kita bisa lihat peran Facebook, Twitter, Bloggers, Technorati, website
yang menerima penulis tamu, dan jenis website lainnya. Semua website tersebut
berkarakteristikkan duplicate content, walaupun tidak 100% duplikat. Semuanya
banyak diyakini banyak blogger mampu mendongkrak jumlah pengunjung suatu blog.
Yang seratus
persen duplicate content adalah website yang menerima republish artikel. Tapi
di website ini juga, kita bisa memasang alamat blog kita di tiap artikel,
sehingga memudahkan para pembaca untuk berkunjung ke blog kita sebagai blog
sumber asli artikel bersangkutan.
Jadi, dari
segi jumlah pengunjung, saya belum menemukan sumber yang menyatakan kepastian
bahwa duplicate content akan menyebabkan sebuah blog kehilangan pengunjung.
Bagaimana
dengan kode etik sebuah karya tulis?
Setahu saya,
selama tidak mengklaim artikel orang lain dengan nama kita sendiri, atau
mempublikasikan artikel orang lain disertai sumbernya, semuanya itu bukanlah
masalah. Justeru, proses republikasi tersebut menjadi promosi gratis bagi
penulisnya, sehingga karya tulis dan namanya semakin populer.
Saya
teringat sebuah ensiklopedia yang memuat berbagai jurnal dengan pengarang yang
berbeda-beda pula. Hal itu dilegalkan dalam penerbitan konvensional. Contoh
lain, kita mengenal ada kumpulan cerpen, kumpulan puisi dan sebagainya.
Maka sampai
saat ini, meskipun saya tidak suka merepost artikel orang lain (kecuali mungkin
pernah terjadi ketika awal-awal blogging, tapi saya tidak ingat pasti), saya
tidak berani melarang artikel saya direpublish oleh blogger lain. Bahkan
seringkali saya merasa senang ketika artikel dari blog saya muncul juga di blog
orang lain. Saya pikir, berarti tulisan saya ada manfaatnya.
Saya
berpikir begini:
Walaupun
orang lain melakukan republish artikel saya, tapi biasanya mereka mencantumkan
sumber aslinya, yaitu blog saya.
Juga,
biasanya penyajian dalam blognya berbeda. Misalnya, saya mempublikasikan
artikel tentang “kerja online” di blog gado-gado (komputer, pendidikan,
tutorial, dlll), sementara blogger lain merepublish artikelku tersebut (“kerja
online”) di blog yang khusus memuat tentang “kerja online” (blog niche).
Berarti mereka sudah membantu para pembaca untuk memperoleh edisi lengkap
informasi/artikel tentang “kerja online”. Ini akan lebih memudahkan para
pembaca, bukan?
Sekali lagi,
mungkin pikiran di ataslah yang membuat saya masih tidak memproteksi artikel
blogku untuk dicopy-paste oleh orang lain. Kebetulan, beberapa kali saya
menemukan artikel blogku ada di blog orang lain (terima kasih buat yang sudah
copy-paste, semoga lebih bermanfaat…!)
Copy-paste
itu tidak mendidik, benarkah?
Tidak
semuanya benar. Copy-paste juga bisa membuahkan ide kreatif bagi blogger yang
baru mampu memanage blog. Karena ada juga yang rajin menulis artikel, mereka
tidak suka optimalisasi blog. Ini harus ada sinergi bukan?
Copy-paste
tampaknya tidak asal-asalan begitu saja. Saya menduga mereka yang suka
copy-paste membaca artikel yang bersangkutan dulu. Kalau cocok, baru akan
di-copy-paste. Nah, dengan kegiatan seleksi artikel tersebut itulah ide kreatif
untuk menulis akan tumbuh. Bukankah sumber utama untuk menulis itu membaca?
Jadi,
copy-paste itu cukup mendidik juga. Semoga saja tidak ada yang copy-paste buta,
alias copy-paste tanpa dibaca (saya kira, kemungkinannya sangat kecil).
Pendek kata,
saya masih belum bisa melarang orang lain yang repost/republish artikelku.
Walaupun kalau saya ikut menjadi penulis tamu, kadang-kadang khawatir artikel
republish-ku ditolak, karena sudah banyak direpublish oleh orang lain di blog
lain. Tapi kembali saya berpikir, sudah berapa banyak saya membantu mereka agar
terhindar dari copy-paste? Pertanyaan inilah yang membuat saya malu untuk
memarahi orang-orang yang suka copy-paste beretika (blogger yang copy-paste
disertai sumber aslinya).
Bagaimana
pendapat teman-teman?
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment