Aliran Pendidikan Konvergensi dan Naturalisme
Terkait dengan aliran pendidikan, sebenarnya kita
hanya asing dengan istilahnya saja, karena kejadian di lapangan sudah sering
ditemukan baik yang mengarah ke aliran empirisme, aliran nativisme, aliran
naturalism, maupun aliran konvergensi.
Sengaja aliran naturalisme dijadikan satu artikel
karena aliran ini mendapatkan penentangan, termasuk pada saat ini. Aliran
naturalisme berpendapat bahwa pendidikan itu tidak diperlukan. Saya menduga
mungkin ada benarnya juga aliran ini, sebagai contoh ada seorang ayah yang
tanpa pendidikan yang bagus (hanya lulus SD) di sebuah kampung mampu
mempelajari bahasa Inggris dan Arab dengan menggunakan salah satu kolom bahasa
di koran/majalah. Tidak cukup belajar bahasa, beliau mampu mendirikan sebuah
sekolah Madrasah Aliyah (MA). Sementara itu, banyak mahasiswa yang sudah lulus
sarjana tidak bisa kerja, bahkan banyak yang sudah bekerja pun, pekerjaannya
tidak sesuai dengan latar belakang jurusannya. Dalam contoh ini pendidikan alam
(natural) tampak bisa diterima. Dapat dikatakan bahwa, pendidikan tidak
diberikan secara langsung oleh orang dewas (guru), tapi anak mencari sendiri
bersama alam, sehingga ketika sekolahpun akan memilih jurusan sesuai
keinginannya. Perlu saya tekankan bahwa meskipun aliran naturalism mendapat
penolakan, tapi saya yakin penemunya Rousseau (Tirtarahardja & Sulo 2005:
197) punya alasan tersendiri.
Bagaimana dengan aliran konvergensi?
Aliran inilah yang saat ini dianggap lebih tepat.
Dapat dikatakan bahwa aliran konvergensi itu mengadopsi ketiga aliran (empirisme,
nativisme, dan naturalisme). Menurut William Stern (Tirtarahardja & Sulo
2005: 198) aliran ini berprinsip
bahwa pembawaan, lingkungan, dan pendidikan itu sangat penting. Untuk
penjelasan masing-masing aliran dapat dicari menggunakan kotak search di blog
ini.
Apakah aliran ini tidak memunculkan pertanyaan lagi?
Yang namanya pemikiran pasti tidak akan ada titik
puncak penyelesaian. Pendapat itu akan terus mengalami tanggapan dari para
pakar yang lain dari masa ke masa. Terkait aliran konvergensi juga demikian.
Dalam aliran ini, para praktisi mungkin akan bertanya manakah yang paling
dominan, bakat atau lingkungan? Jawabannya tidak ada yang pasti, karena
masing-masing anak ada yang sukses karena bakatnya yang hebat, ada juga yang
sukses karena lingkungannya yang bagus. Salah satu yang bisa dilakukan sebagai
penyempurnaan ikhtiar adalah berusaha mendidik anak agar memiliki lingkungan
yang bagusm juga barangkali saja bisa mendukung bakat yang sudah dimilikinya
sejak lahir.
Babakan Cikalama, 2 Juni
2012
Komarudin Tasdik
BAB I: WARISAN NABI
(halaman 18)
“Pernahkah Nabi Muhammad itu
miskin? Pernah, tapi hanya sebentar. Yang sesungguhnya, ia lebih lama kaya
daripada miskin.”
Lama atau sebentar itu tidak bisa dijadikan pijakan
untuk diteladani. Seandainya nabi Muhammad kaya sebelum jadi Nabi, maka yang
lebih layak diteladani adalah masa ketika beliau sudah jadi Nabi. Adapun
kemiskinan yang dialami Nabi karena digunakan membantu fakir miskin, saya
setuju. Yang tidak setuju adalah mengharuskan umat jadi kaya dengan alasan Nabi
juga kaya. Mengapa tidak setuju? Karena seandainya kaya itu keharusan, maka
nabi tidak akan menjadi miskin membantu fakir miskin, tapi beliau akan tetap kaya
dan memberikan solusi dan strategi zitu kepada umatnya untuk bersama-sama kaya.
“Hanya saja, ia sederhana. Makanya
ia memiliki makanan, pakaian, dan alas tidur yang alakadarnya.”
Kesederhanaan yang beliau tunjukkan mengisyaratkan
kita harus menghargai orang-orang miskin. Jadi, tetap saja orang miskin di
dunia ini tidak bisa semua berubah menjadi kaya. Pendek kata, tidak ada
keharusan untuk kaya, yang ada paling juga anjuran untuk kaya. Keharusan
berarti kalau tidak dilakukan akan menimbulkan dosa, apabila anjuran tidaklah
dosa bagi yang tidak melakukannya, walaupun kalau hitung-hitungan masuk
kategori pas-pasan.
“Adakah sahabat Nabi yang tidak
kaya? Di antara empat sahabat terdekat Nabi, ternyata hanya Ali bin Abu Thalib
yang tidak kaya.”
Ini
membuktikan bahwa kaya itu bukan keharusan, kaya itu bukan kewajiban. Sayyidina Ali saja sudah
mencontohkan tidak kaya, padahal beliau seorang yang cerdas. Seandainya manusia
harus kaya, maka sudah selayaknya keempat sahabat tersebut semuanya kaya.
“Di antara sepuluh sahabat Nabi
yang dijamin masuk surga, ternyata hampir semuanya orang kaya.”
Di sini juga terlihat pada ungkapan “hampir semuanya
kaya”. Makna hampir berarti tidak semua kaya dong.
Dengan demikian, ada kemungkinan sahabat
Nabi yang miskin, tapi tetap dijamin masuk surga.
***
(halaman 19)
“Bagaimana dengan istri kesayangan
Nabi, Siti Khadijah? Ternyata ia lebih kaya daripada Nabi.”
Nah, ini membuktikan keteladanan Nabi sendiri.
Seandainya kaya itu keharusan, masa iya Nabi kalah kaya oleh isterinya yang
notabene pastinya Nabi lebih mulia dibandingkan Siti Khadijah. Dengan kata
lain, Nabih lebih sangat layak menjadi teladan daripada isterinya. Apalagi
kalau mengingat isteri Nabi yang lainnya yang tidak termasuk orang kaya harta.
“Kalau memang Anda mencintai Nabi
dan para sahabat, maka jangan kecewakan mereka. Teladani mereka. Pastikan Anda
kaya!”
Ini yang kurang sependapat. Kalau melihat ungkapan di
atas, maka seolah-olah kita harus kaya. Padahal sudah diungkap sebelumnya bahwa
tidak semua sahabat Nabi itu kaya. Bahkan saya jadi nyeleneh nih, kalau hanya manusia kaya yang
dikategorikan meneladani sahabat Nabi, kita lupa berarti orang kaya tersebut
tidak meneladani sahabat Nabi yang miskin.
“Kalau ada seorang muslim yang
membiarkan dirinya miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati
teladan-teladannya! Bukankah teladan-teladannya kaya? Bukankah
teladan-teladannya menyuruhnya untuk kaya?”
Saya juga mengajukan pertanyaan: Bukankah tidak semua
teladan-teladan kaya? Kalau semua kaya berarti syurga itu diperuntukkan bagi
yang kaya harta saja. Bukankah teladan-teladannya tidak memberikan perintah
jelas dan khusus untuk menjadi kaya? Kalau ada yang dengan jelas dan tegas
memerintah kaya mungkin bisa berungkap seperti ini: “Kamu semua harus menjadi
orang kaya!” Dalam buku ini saya belum menemukannya.
Dalam kutipan di atas tertulis “membiarkan dirinya
miskin”, saya setuju karena membiarkan miskin itu berarti tidak mau berusaha.
Akan tetapi tulisan tersebut tidak mengharuskan manusia kaya, kan? Apabila
sahabat penulis benar-benar ingin mengharuskan kaya, maka gantilah ungkapan di
atas dengan “Kalau ada seorang
muslim yang miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati
teladan-teladannya! Nah,
kalau diganti begini jelas bahwa kita harus kaya, dan saya tidak setuju dengan
ungkapan pengganti ini.
***
Babakan Cikalama, 2 Juni
2012
Komarudin Tasdik
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment