Percepatan Rezeki Bukan Berarti Harus Kaya
(Tanggapan Terhadap Buku Percepatan Rezeki Karya Ippho
‘Right’ Santosa)
Tulisan
ini saya buat bukan untuk menyangkal buku yang sudah ada, tapi berupa reaksi
pemikiran saya setelah membaca buku “Percepatan Rezeki Karya Ippho ‘Right’
Santosa.” Saya bukan ulama, bukan ilmuwan, bukan orang cerdas dan bukan orang
yang layak menyalahkan prinsip-prinsip yang dibahas pada buku di atas, tapi
saya hanya menginformasikan keberadaan sesungguhnya kepada dunia bahwa di
tengah-tengah gencarnya prinsip-prinsip motivasi untuk kaya ada juga yang masih
menganggap bahwa miskin itu indah, miskin itu mendatangkan inspirasi, dan
miskin itu tidak perlu ditakuti, lebih-lebih miskin itu belum tentu digolongkan
sebuah dosa seperti halnya kaya yang juga belum tentu dikategorikan menjadi
sebuah ibadah.
Seandainya tulisan saya ini keliru, semoga dengan
hadirnya tanggapan saya ini mengundang berbagai pihak untuk meluruskannya.
Seandainya tulisan ini tidak keliru, semoga menjadi penyeimbang prinsip-prinsip
optimisme para motivator yang sampai saat ini masih banyak orang belum mampu
mencapainya.
Apabila tulisan ini menyebabkan ketidak-setujuan para
pembaca, anda patut bersyukur karena anda masih bisa memilih. Apabila tulisan
ini menyebabkan anda ingin mencibir, gantilah cibiran anda dengan pemberian
solusi karena saya yakin di dunia ini masih banyak yang miskin, padahal
sebenarnya ingin kaya. Apabila tulisan ini mengundang kata setuju dari para
pembaca, maka jadikanlah tulisan ini sebagai penyeimbang buku-buku yang ditulis
oleh para motivator yang penuh optimisme, tidak perlu mencari pihak yang harus
dipersalahkan.
Sekali
lagi saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan
perdebatan, tapi untuk menyeimbangkan motivasi yang serba mungkin, menjadi
lebih berpikir bijak untuk mengakui bahwa di dunia ini tidak semua mungkin,
melainkan ada yang tidak mungkin. Manusia itu mungkin kaya, tapi mungkin juga miskin.
Tidak akan terjadi semua manusia bisa kaya! Apakah kita tidak perlu berusaha
kaya? PERLU, manusia perlu atau harus berusaha untuk kaya, tapi tercapainya
posisi kaya bukan keharusan, karena tidak semua orang yang sudah berusaha akan
menjadi kaya, pasti ada yang gagal. Adapun gagal itu bukan untuk ditakuti,
karena semua orang mungkin gagal, dan gagal bukanlah aib tidak pula menjadikan
manusia hina. Miskin itu tidak perlu ditakuti karena miskin tidak akan membuat
manusia hina.
Apabila
ada perasaan janggal ditinjau dari ilmu agama yang anda miliki maka kajilah
lebih mendalam referensi agama dengan lebih seksama, karena tulisan ini
bukanlah buku agama. Apabila ada perasaan janggal ditinjau dari metodologi penelitian ilmiah
yang anda miliki maka kajilah lebih mendalam referensi penelitian ilmiah dengan
lebih seksama lagi, karena ini bukanlah hasil penelitian. Buku ini ditulis
berdasarkan pemikiran subyektif penulis yang diselaraskan dengan
kejadian-kejadian yang pernah dialaminya. Saran dan kritik sepedas apapun
sangat saya nantikan untuk perbaikan tulisan berikutnya. Salam hangat dan
selamat membaca!
BAB I: WARISAN NABI
(halaman 18)
“Pernahkah Nabi Muhammad itu
miskin? Pernah, tapi hanya sebentar. Yang sesungguhnya, ia lebih lama kaya
daripada miskin.”
Lama atau sebentar itu tidak bisa dijadikan pijakan
untuk diteladani. Seandainya nabi Muhammad kaya sebelum jadi Nabi, maka yang
lebih layak diteladani adalah masa ketika beliau sudah jadi Nabi. Adapun
kemiskinan yang dialami Nabi karena digunakan membantu fakir miskin, saya
setuju. Yang tidak setuju adalah mengharuskan umat jadi kaya dengan alasan Nabi
juga kaya. Mengapa tidak setuju? Karena seandainya kaya itu keharusan, maka
nabi tidak akan menjadi miskin membantu fakir miskin, tapi beliau akan tetap kaya
dan memberikan solusi dan strategi zitu kepada umatnya untuk bersama-sama kaya.
“Hanya saja, ia sederhana. Makanya
ia memiliki makanan, pakaian, dan alas tidur yang alakadarnya.”
Kesederhanaan yang beliau tunjukkan mengisyaratkan
kita harus menghargai orang-orang miskin. Jadi, tetap saja orang miskin di
dunia ini tidak bisa semua berubah menjadi kaya. Pendek kata, tidak ada
keharusan untuk kaya, yang ada paling juga anjuran untuk kaya. Keharusan
berarti kalau tidak dilakukan akan menimbulkan dosa, apabila anjuran tidaklah
dosa bagi yang tidak melakukannya, walaupun kalau hitung-hitungan masuk
kategori pas-pasan.
“Adakah sahabat Nabi yang tidak
kaya? Di antara empat sahabat terdekat Nabi, ternyata hanya Ali bin Abu Thalib
yang tidak kaya.”
Ini
membuktikan bahwa kaya itu bukan keharusan, kaya itu bukan kewajiban. Sayyidina Ali saja sudah
mencontohkan tidak kaya, padahal beliau seorang yang cerdas. Seandainya manusia
harus kaya, maka sudah selayaknya keempat sahabat tersebut semuanya kaya.
“Di antara sepuluh sahabat Nabi
yang dijamin masuk surga, ternyata hampir semuanya orang kaya.”
Di sini juga terlihat pada ungkapan “hampir semuanya
kaya”. Makna hampir berarti tidak semua kaya dong.
Dengan demikian, ada kemungkinan sahabat
Nabi yang miskin, tapi tetap dijamin masuk surga.
***
(halaman 19)
“Bagaimana dengan istri kesayangan
Nabi, Siti Khadijah? Ternyata ia lebih kaya daripada Nabi.”
Nah, ini membuktikan keteladanan Nabi sendiri.
Seandainya kaya itu keharusan, masa iya Nabi kalah kaya oleh isterinya yang
notabene pastinya Nabi lebih mulia dibandingkan Siti Khadijah. Dengan kata
lain, Nabih lebih sangat layak menjadi teladan daripada isterinya. Apalagi
kalau mengingat isteri Nabi yang lainnya yang tidak termasuk orang kaya harta.
“Kalau memang Anda mencintai Nabi
dan para sahabat, maka jangan kecewakan mereka. Teladani mereka. Pastikan Anda
kaya!”
Ini yang kurang sependapat. Kalau melihat ungkapan di
atas, maka seolah-olah kita harus kaya. Padahal sudah diungkap sebelumnya bahwa
tidak semua sahabat Nabi itu kaya. Bahkan saya jadi nyeleneh nih, kalau hanya manusia kaya yang
dikategorikan meneladani sahabat Nabi, kita lupa berarti orang kaya tersebut
tidak meneladani sahabat Nabi yang miskin.
“Kalau ada seorang muslim yang
membiarkan dirinya miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati
teladan-teladannya! Bukankah teladan-teladannya kaya? Bukankah
teladan-teladannya menyuruhnya untuk kaya?”
Saya juga mengajukan pertanyaan: Bukankah tidak semua
teladan-teladan kaya? Kalau semua kaya berarti syurga itu diperuntukkan bagi
yang kaya harta saja. Bukankah teladan-teladannya tidak memberikan perintah
jelas dan khusus untuk menjadi kaya? Kalau ada yang dengan jelas dan tegas
memerintah kaya mungkin bisa berungkap seperti ini: “Kamu semua harus menjadi
orang kaya!” Dalam buku ini saya belum menemukannya.
Dalam kutipan di atas tertulis “membiarkan dirinya
miskin”, saya setuju karena membiarkan miskin itu berarti tidak mau berusaha.
Akan tetapi tulisan tersebut tidak mengharuskan manusia kaya, kan? Apabila
sahabat penulis benar-benar ingin mengharuskan kaya, maka gantilah ungkapan di
atas dengan “Kalau ada seorang
muslim yang miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati
teladan-teladannya! Nah,
kalau diganti begini jelas bahwa kita harus kaya, dan saya tidak setuju dengan
ungkapan pengganti ini.
***
Babakan Cikalama, 2 Juni
2012
Komarudin Tasdik
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment