Saya agak
sering mendengar mahasiswa yang tidak suka Filsafat enggan mempelajarinya,
karena Filsafat tampak menyeramkan di benak mereka. Dengan Filsafat bisa
membuat seseorang berpikiran aneh. Benarkah?
Sedikit referensi
yang pernah dibaca, memang Filsafat itu melatih ketajaman berpikir. Kenapa kita
hidup? Kenapa kita harus menyembah Tuhan? Siapa Tuhan itu? Benarkah Tuhan itu
ada? Mungkin pertanyaan seperti itulah yang beberapa kali saya tangkap dari
tulisan dan obrolan ringan tentang Filsafat.
Untuk sebagian
kalangan, memikirkan pertanyaan seperti di atas hampirlah tabu, karena dianggap
akan mengusik keimanan. Bahkan boleh saja sesat. Hiks…hiks.. Akan tetapi,
tampaknya itu hanya sebagian pembelajar saja yang tampak berperilaku aneh
negatif, sebagian yang lainnya bisa tampil bijak dengan filsafat. Betapa tidak,
kejayaan Bani Abbasiyah merupakan tempat berkembangnya filsafat dalam dunia
Islam, padahal ia bersumber dari Yunani.
Yang saya
perhatikan, seseorang bisa dipandang aneh negatif ketika berperilaku atau
bersikap tanpa menggunakan teknik komunikasi yang baik. Di depan buruh kasar
yang tidak pernah menyentuh buku, mereka bicara asal usul Tuhan. Ya jelas, para
buruh tersebut akan menggigil ketakutan. Di depan santri yang jarang membaca
wawasan mempertanyakan kedudukan Tuhan dan manusia. Ya jelas saja santri
tersebut akan terus mengumandangkan istighfar.
Sebenarnya,
bukan hanya Filsafat yang seringkali membuat pendengarnya laksana tersambar petir.
Satu lagi, Tasawuf. Sebagian kalangan menghukumi bahwa Tasawuf itu sesat. Kejadian
di masyarakat adalah ketakutan terhadap ajaran Tasawuf yang ditampilkan oleh
para pengaku sufi (penganut Tasawuf)
yang miskin, anti bermasyarakat, tapa di kamar, atau yang lainnya.
Benarkah Filsafat
dan Tasawuf akan menimbulkan kesesatan?
Sampai saat
ini keduanya masih perdebatan. Yang terpenting adalah bagaimana kita
menempatkan keduanya dalam keadaan yang tepat? Kita bicara Filsafat di depan
orang yang mengenalnya. Kita bicara Tasawuf di depan orang yang tidak alergi
padanya. Cara ini mungkin akan relatif aman dari menimbulkan keresahan di
masyarakat umum.
Perlu
diingat juga bahwa referensi Filsafat dan Tasawuf itu sangat banyak, bukan
hanya yang “berduri” saja. Saya sendiri, baru sebesar butiran debu membacanya,
karena harus membaca referensi yang lain. (ngeles….)
Kenapa saya
masih mau membaca keduanya, tidakkah khawatir sesat?
Ah tidak juga. Selama kita yakin bahwa
Allah akan membimbing kita, siapa yang bisa membuat kita sesat, bukan? Apalagi hanya
karena Filsafat dan Tasawuf yang total ilmunya hanya setitik ilmu Allah. Berdoa
saja sebelum mempelajarinya. Kemudian, buka kepala kita agar tidak berpola
pikir tertutup dan eklusif.
Perlu diingat
bahwa orang yang tidak kritis terhadap keyakinannya juga belum tentu selamat,
karena boleh jadi ia tidak mempertanyakan sesuatu yang “aneh” (tidak lazim),
karena ia tidak terpikirkan, karena ia belum sempat membaca. He…he.. Ya
idealnya tidak berpikir macam-macam (aneh-aneh) setelah membaca banyak
referensi. Ini yang saya mimpikan….!
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
kalau dalam belajar tasawwuf, kita harus punya pembimbing mas yg disebut murshyid, supaya gak salah paham dan lepas alur. Dulu tertarik sama tasawuf sih waktu nyantri, sekarang udah didunia luar. ada lagi banyak ilmu yg menarik untuk di pelajari.
ReplyDeletewajar sih, filsafat kan kadang harus mikir susah, sedang orang sini enaknya hasil produk yg udah jadi aja.
Tambahan ilmu nih. Makasih mas.
DeleteIya juga, mie instan berlaku pada banyak aspek, mikir instan, uang instan, kekuasaan instan. Wuuuh, semoga saja banyak generasi muda yang masih mau mikir "susah". he..he..
Please read again the book about tasawuf. tarikot and tasawuf are different. maybe you mix tasawuf and tarikot.
ReplyDeleteWhich is the mix? Please help me to know it!
Delete