Saat ini, kita tahu Indonesia sedang
dilanda Vickinisasi. Kata vickinisasi muncul setelah seorang pacar selebritis yang
bernama Vicky menggunakan kata-kata bahasa Inggris yang dianggap tidak tepat
atau menggunakan bahasa Inggris dengan pola bahasa Indonesia.
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan
istilah tersebut mencuat sehingga membanjiri tulisan-tulisan di media online,
bahkan di kehidupan sehari-hari. Pertama, mereka yang menirukan bahasa
Vickinisasi itu membenci Vicky karena telah berbuat nakal kepada pacarnya.
Kedua, mereka membenci kata-kata Vicky yang so pintar, padahal salah.
Sebenarnya saya setuju-setuju saja
adanya koreksi terhadap kesalahan penggunaan bahasa Inggris tersebut. Bahkan
itu juga secara tidak langsung bisa menjadi kritikan kepada para pejabat yang
dianggap sebagian kalangan suka berkata dengan istilah-istilah keren, tapi
tampak tidak tahu artinya.
Yang saya sesalkan, akibat banyaknya
pencibiran terhadap penggunaan bahasa Inggris yang salah tersebut merembet ke
kaum awam yang tidak tahu penggunaan bahasa Inggris. Mereka ikut-ikutan
menyalahkan bahasa Inggris-nya Vicky, padahal mereka sendiri tidak bisa
berbahasa Inggris, selain sedikit saja.
Hal di atas teringat ketika saya
dengan percaya diri menyalahkan penggunaan kata ‘I’ sebagai objek karena setahu
saya ‘I’ itu untuk Subjek. Sedangkan untuk objeknya harus ‘Me’. Namun setelah
mendengar penjelasan salah seorang guru bahasa Inggris Teuku Handoko (Maaf
kalau namanya salah), ternyata di Inggris ada sebagian masyarakat yang
menggunakan ‘I’ sebagai objek, misalnya: You love I (Mohon dikoreksi kalau saya
salah terkait contoh ini).
Itulah nyatanya keunikan sebuah
bahasa sebagaimana kita tahu juga ada faktor kesalahan publik di dalamnya,
misalnya:
Salah satu dari gadis cantik itu
adalah pacarku.
Mungkin untuk banyak orang tidak ada
masalah dengan kalimat di atas. Namun bagi sebagian kalangan, kenapa harus salah
satu? Padahal seharusnya benar satu?
Contoh lain:
Kemarin, kebetulan saya mendapatkan
untung Rp100.000
Ada sebagian kalangan berpendapat
bahwa jangan menggunakan kebetulan pada kalimat di atas, karena itu
sudah direncanakan Tuhan jauh-jauh hari sebelum manusia terlahir ke dunia ini.
Setelah itu, banyak masyarakat beramai-ramai menyalahkan setiap orang yang
berkata “kebetulan”.
Mereka yang menyalahkan penggunaan
kata “kebetulan” tersebut sebenarnya tidak paham-paham amat tentang bahasa
Indonesia. Ketika ditanya, makna kebetulan pada kalimat di atas adalah sesuatu
yang tidak disangka-sangka ditinjau dari kacamata manusia, bukan dari sudut
pandang Tuhan. Bagaimana menurut pendapat anda? Maka mereka yang ikut-ikutan
menyalahkan pun tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Intinya, saya berpendapat bahwa kita
boleh menyalahkan orang lain sesuai keilmuan kita masing-masing, namun jangan
berlebihan yang bisa mengarah ke pencibiran, padahal kita juga tidak tahu ilmu
yang sebenarnya. Malu dong, kita mencibir orang lain, padahal kita juga sering
melakukan kesalahan, bahkan dalam bahasa Indonesia sekalipun.
Beberapa kali saya menyampaikan
guyonan terkait vickinisasi:
Sebaiknya kita menyikapinya bukan
hanya dari unsur kritik bahasa, namun kita harus memandangnya dari unsur
kreativitas juga. Vickinisasi itu kreatif juga lho. Buktinya banyak kalangan yang
menirukannya sebagai hiburan. :) Nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Setiap
ciptaan Tuhan pasti baik, termasuk Vickinisasi. Karena Vickinisasi akan
mempertajam orang-orang yang mempelajarinya, baik dari unsur bahasa maupun
kreativitas.
Tapi, jangan membuat vickinisasi
baru lagi ya…! :)
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
iya tuh padahal gak ngerti apa-apa, kasian.
ReplyDeleteTernyata ada juga teman yang sependapat dengan saya. Makasih ya...
DeleteSaya juga gak terlalu mengerti, bahkan bahasa malah sulit dimengerti
ReplyDeleteSalam kenal
Salam kenal juga sobat :)
Delete