Setelah
banyak bermain di Kitaabah, baru sempat lagi bermain ke beberapa website
jurnalisme warga (mirip Kitaabah) yang berbahasa Inggris. Sebagian website
tersebut pernah menjadi tempat menulis saya.
Ini beberapa
nasib website tersebut:
1. Ada yang
hanya menampilkan halaman depan tanpa link dan artikel apapun
Di website
ini pernah mendapatkan informasi dari seorang penulisnya bahwa beliau pernah
mendapatkan $60 (sekitar Rp 600.000) selama 6 bulan. Penulis tersebut bukan
dari Top Contributors, bukan pula Top Earners.
Dollar dari
website di atas dikenal cukup asyik (baca: lumayan besar). Seleksi artikel pun
sangat ketat dan prosesnya cukup lama untuk memperoleh keputusan apakah artikel
kita dipublikasikan atau ditolak?
Kini,
website tersebut tinggal halaman depan tanpa artikel apapun, dan sudah
memutuskan tidak membayar lagi penulisnya. Eh satu lagi, sumber pendapatan
website ini adalah Google Adsense.
Ada
permohonan bahwa artikel yang sudah dipublikasikan agar dijadikan amal saja
buat website tersebut. Sebelumnya, saya sedikit menduga website tersebut
berbuat curang (artikel sudah banyak, pendapatan ingin dikantongi sendiri).
Namun setelah melihat suatu sore, website tersebut hanya menampilkan halaman
depan saja, saya jadi bertanya-tanya: Apakah website tersebut bangkrut atau
sedang perbaikan?
2. Ada yang
tampilannya jadi amburadul
Ini terjadi
pada website yang desainnya menjadi pujian para penulis. Pemiliknya orang
Amerika. Pendapatan utamanya dari iklan Google Adsense. Selain desainnya keren,
minimal payoutnya juga hanya $0.1.
Meskipun
minimal payoutnya sangat kecil, namun banyak penulis yang bertanya-tanya
tentang adanya keanehan dalam penghitungan pendapatan. Misalnya, dari $8 pada
laporan harian, ternyata ketika siap pembayaran di akhir bulan berubah menjadi
$2 (sekitar Rp20.000). Ini boleh jadi kelicikan pemilik website, boleh jadi
juga kelemahan sistemnya (Sebaiknya berbaik sangka saja ya…!).
Salah satu
yang keren di website ini adalah membolehkan para penulis melakukan
republish/repost artikel bagi penulisnya, asalkan bukan artikel orang lain. Namun
hal ini menurut para pecinta SEO akan mengakibatkan duplicate content, yang
mana Google tidak menyukainya. Dikirain ada pengecualian karena pemiliknya
orang Amerika?!?
Ada sedikit
dugaan saya bahwa Google Adsense tidak cocok untuk website jurnalisme warga
karena rawan click fraud. Namun dugaan ini tampak kurang tepat karena ketika
memperhatikan Kompasiana yang notabene jenisnya jurnalisme warga, namun tidak
membayar penulis/blogger-nya, saya masih melihat iklan Google Adsense terpajang
di sana.
Lalu, ada
apa dengan website multi authors yang iklannya Google Adsense suka mengalami
bangkrut? Bahkan sebuah website yang sudah cukup lama memberikan pesan ketika
saya daftar pertama kali bahwa website-nya mengalami kebangkrutan, terkait
website-nya bermasalah di mata search engine Google. Ini juga diduga karena
sudah membolehkan republish/repost artikel.
3. Ada lagi
website yang update artikel per harinya sedikit
Salahnya
ketika saya aktif dulu tidak sempat menghitung judul artikel yang muncul di
halaman depan per harinya. Suatu sore, saya mencoba menghitungnya. Alhasil, ada
8 artikel yang dipublikasikan tanggal 14 Nopember 2013, dan 2 artikel yang dipublikasikan
pada tanggal 15 Nopember 2013.
Kalau jumlah
di atas benar-benar segitu, saya hampir tidak percaya karena sebuah website
multi authors dan berbahasa Inggris, kemungkinan jumlah penulisnya lebih
banyak. Memang ada masalah yang pernah saya baca antara lain bayarannya yang
sangat kecil. Namun demikian, ada penulis yang mengklaim punya lebih dari 1.000
artikel di sana dan sudah berkali-kali mendapatkan bayaran.
Sebagai
catatan kecil, website ini tidak menayangkan iklan dari Google Adsense, tapi dari
partner Google Adsense yang berjenis CPM, bukan PPC yang biasa diterapkan
Google Adsense.
4. Website
besarpun ikut-ikutan kurang update
Saya juga
berkunjung ke sebuah website yang sangat terkenal. Website ini pernah diterjang
badai Google yang berimbas pada semakin ketatnya seleksi artikel. Iklan pun
disponsori Google Adsense.
Pada halaman
depan website ini hanya menampilkan recent post (artikel terbaru) sekitar satu
bulan yang lalu. Sayangnya lagi, saya belum memperhatikan ketika beberapa bulan
lalu ketika saya masih aktif, apakah memang demikian (tidak suka update recent
post) atau memang sudah ditinggalkan para penulisnya?
Namun
beberapa bulan yang lalu, saya pernah membaca beberapa tulisan dari para
penulisnya yang menggambarkan pesan optimistis karena sudah mendapatkan jutaan
rupiah per bulan.
Melihat
keempat website di atas, saya cukup mengerutkan dahi. Apa yang sebenarnya
terjadi? Apakah saat ini benar-benar jamannya niche blog (blog dengan tema
sangat spesifik)? Kalau ini benar-benar terjadi, maka saya berpendapat blogging
(menulis di blog) itu tidak akan seru lagi karena setiap penulis menyembunyikan
blognya sebab takut click fraud yang berujung kehilangan pendapatan dari Google
Adsense.
Saya tidak
berhenti di empat website di atas. Perjalanan pun berlanjut ke website
jurnalisme warga lainnya. Website kunjungan terakhir ini cukup dua buah saja.
Keduanya tidak menggunakan Google Adsense sebagai iklannya.
Kalau tidak
salah lihat, keduanya menayangkan iklan berjenis CPM (Cost per Mile). Kedua website
tersebut masih update banyak artikel. Namun saya tidak menghitungnya karena
tampaknya masih ramai. Di salah satu website tersebut, seorang penulispun
mempublikasikan hampir 10 artikel tanpa diselang artikel dari penulis lain. Wah
ini cukup keren…!
Pendek kata,
saya mempunyai dugaan bahwa blog jurnalisme warga atau multi authors tampaknya
lebih cocok menggunakan iklan berjenis CPM. Jadi, semakin banyak pengunjung,
pendapatan sebuah blog akan semakin besar, walaupun pengunjung tidak mengklik
iklan kita.
Namun
demikian, klik pengunjung tampaknya tetap penting karena ada dugaan meskipun
iklan CPM, tapi kalau jumlah kliknya banyak maka iklan yang tayang pun akan
semakin keren yang berpengaruh terhadap semakin besarnya pendapatan.
Selain hal
di atas, saya menduga sekarang para pengiklan sudah berorientasi website yang
fokus di suatu negara. Dengan fokus di satu negara, iklan bisa lebih fokus,
bahkan untuk iklan yang berjenis CPA (click per action – dibayar apabila ada
pengunjung mengklik iklan, kemudian melakukan pembelian) akan lebih mungkin
terjadi. Misal, iklan penjualan komputer berasal dari perusahaan di Indonesia,
maka pengunjung dari Indonesia akan lebih besar kemungkinan melakukan pembelian
daripada pengunjung dari Amerika.
Satu lagi,
tentang deteksi iklan berorientasi konten juga mungkin berpengaruh. Meskipun
banyak penyedia iklan mengklaim mampu menayangkan iklan berdasarkan negara asal
pengunjung dan sesuai konten/artikel blog, namun yang saya alami sebuah
penyedia iklan tampak kesulitan walaupun hanya menargetkan pengunjung dari
Indonesia saja. Bagaimana dengan target multi negara, mungkin penyedia iklan
akan semakin kerepotan, kecuali pemilik website atau blog tidak mengajukan
pemblokiran iklan apapun. Dengan kata lain, iklan apapun diterima saja oleh
pemilik website-nya.
Dugaan
terakhir ini mungkin tidak terlalu tepat karena beberapa penyedia iklan dari
luar negeri mampu menampilkan iklan bertarget pengunjung Indonesia saja.
Contohnya iklan Google Adsense dan Madadsmedia. Tapi saya tidak tahu apakah
pemilik website-nya pernah mengajukan pemblokiran beberapa iklan atau memesan
iklan tertentu saja kepada Google dan Madadsmedia? Bahkan perlu dicari tahu
juga: setelah berapa lama iklan tersebut bisa sesuai negara asal pengunjung?
Kesimpulannya
saya masih ingin bersenang-senang dengan blog jurnalisme warga dengan terus
membangun komunikasi yang baik bersama pengiklan agar iklan yang tayang sesuai
dengan kultur bangsa Indonesia. Kitaabah.com pun tetap jadi teman setia J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment