Di saat saya
membutuhkan motivasi untuk terus mengembangkan Kitaabah, kebetulan saya
menemukan artikel di Kompasiana tentang perjalanan Kang Pepih sebagai pendiri
Kompasiana dan sekaligus adminnya.
Artikel
tersebut merupakan resensi dari buku tentang perjalanan Kompasiana sejak
berdiri sampai saat ini yang memiliki nama besar sebagai media jurnalisme warga
di Indonesia.
Ternyata
Kompasiana juga pernah disepelekan. Bahkan Kang Pepih berkali-kali diminta
untuk menutup Kompasiana karena dianggap tidak ada gunanya. Usul penutupan
tersebut bukan muncul dari pihak luar, tapi muncul dari tim redaksi Kompas sendiri
sebagai media utama tempat bernaung Kompasiana.
Di awal-awal
berdiri, yang aktif blogging di Kompasiana hanya Kang Pepih, sehingga ada orang
yang mengatakan bukan Kompasiana, tapi Pepihsiana dan satu lagi sebutannya yang
saya lupa (kalau enggak salah, Pepih Kompasiana atau Kompasiana Pepih), karena
tulisannya didominasi oleh tulisan Kang Pepih.
Sebagian
orang menganggap Kompasiana tidak akan ada peminatnya karena pada saat itu
sudah ada platform blog gratis, sehingga banyak orang bisa membuat blog
sendiri.
Namun saat
ini, fakta sudah berkata bahwa Kompasiana sudah menjadi blog jurnalisme sangat
besar di tanah air. Kompasiana seringkali disaingkan dengan Blogdetik, seperti
halnya Kompas yang dianggap saingan utama Detikcom. Sebagaimana diketahui bahwa
Detikcom merupakan payung utama Blogdetik.
Modal
kesuksesan dari Kang Pepih adalah Kompasiana itu harus berbeda dari blog lain.
Salah satunya adalah Kompasiana tampil sebagai blog ‘keroyokan’ yang
mempublikasikan artikel dari banyak penulis tanpa editor.
Setelah
membaca cerita singkat kesuksesan Kompasiana di atas, saya jadi teringat
Kitaabah. Setidaknya, blog Kitaabah ini mencontoh Kompasiana, Blogdetik,
Wikipedia dan beberapa blog luar negeri yang membayar penulisnya.
Kalau
keunikan (perbedaan) merupakan faktor penting, maka Kitaabah tampil sebagai
blog paid to write (dibayar untuk menulis), sedangkan Kompasiana tidak. Adapun
dengan Blogdetik, para penulis Kitaabah tidak perlu memikirkan pemasangan
iklan, sedangkan di Blogdetik, para penulis harus memasang iklan masing-masing.
Kenapa
dikaitkan dengan Wikipedia? Memang dari segi komersialisasi, Kitaabah sudah
berbeda dengan Wikipedia yang tampil sebagai website ilmiah tanpa iklan, dan
hidupnya mengandalkan donasi. Kemiripannya adalah Kitaabah akan diarahkan untuk
menampung artikel tentang materi kuliah, mata pelajaran, dan referensi lain,
walaupun masih menerima artikel bebas.
Kok
berani-beraninya Kitaabah mengklaim akan membayar penulisnya? Sebenarnya tidak
perlu keberanian untuk menyatakan Kitaabah sebagai blog Paid to Write karena
yang membayar para penulis itu bukan pemilik Kitaabah, tapi pengiklan.
Jadi, besar
kecilnya pendapatan para penulis tergantung banyak dan kualitas artikelnya
masing-masing yang mana akan berpengaruh pada besar kecilnya bayaran dari
pengiklan. Dengan kata lain, Kitaabah hanya memediasi antara para penulis dan
pihak pengiklan. Tidak ada janji-janji akan mendapatkan uang banyak, karena
semuanya tergantung kerja keras para penulis dan ketertarikan para pemasang
iklan. Gitu aja kok repot J
Sekali lagi,
kesuksesan para penulis Kitaabah itu tidak banyak dipengaruhi oleh admin
Kitaabah, tapi sangat dipengaruhi oleh kualitas masing-masing penulis.
Itulah yang
bisa dipaparkan dalam postingan ini, setelah merenungkan sekilas tentang
Kompasiana. Semoga Kitaabah dapat belajar banyak dari Kompasiana.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment