Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
Pesantren Katabah
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Sunday, November 24, 2013

Penerbit Online Membuat Penerbit Offline Nangis


Pernah suatu waktu, saya membaca bahwa ke depan penerbit online akan bersaing ketat dengan penerbit offline (konvensional). Salah satu keunggulan penerbit online adalah budget penerbitan dan pemasaran relatif lebih murah.


Sebenarnya saya juga pernah membaca bahwa penerbitan saat ini sudah mengalami perubahan. Kalau dulu para penulis itu harus mengantri untuk diseleksi oleh penerbit-penerbit keren, namun sekarang sudah mengenal self publishing. Artinya, penulis memiliki penerbit sendiri, sehingga tidak khawatir berkas bukunya akan ditolak.

Namun demikian, self publishing tidak mudah juga. Memang mudah ketika penerbitan. Tapi ketika penjualan, banyak juga yang tidak laku-laku yang berujung gulung tikar. Bukankah sebagian pembeli akan lebih percaya diri membeli buku dari penerbit dan penulis ternama? Kecuali kalau pembelinya berasal dari siswa/mahasiswa sendiri, kerabat kerja, dan orang-orang yang kenal kepada penulisnya.

Tapi katanya tidak sedikit yang self publishing sukses juga. Self publishing juga tidak muncul begitu saja. Penerbitan gaya ini salah satunya muncul mungkin sebagai bentuk protes kepada sebagian penerbit ternama yang lebih mengutamakan popularitas penulis.

Mengutamakan popularitas penulis, maksudnya? Saya sering mendengar “berita burung” bahwa kalau “penulisnya sudah populer, maka bukunya akan lebih mudah diterbitkan. Sedangkan kalau penulisnya belum populer, maka bukunya cenderung akan ditolak, kecuali kalau benar-benar keren.”

Ke depan diperkirakan penerbit online yang akan bermain. Selain lebih hemat biaya penerbitan, pemasaran juga relatif lebih cepat karena nama penerbit sudah terpajang di alamat URL-nya dan kekuatan search engine yang semakin hebat. Salah satu bentuknya adalah e-book. Namun saya menduga, tidak hanya e-book yang akan jadi perhatian penerbit online, artikel gratis juga akan menjadi perhatiannya.

Apa untungnya artikel gratis untuk penerbit online? Jawabannya adalah uang dari iklan. Penerbit menyediakan artikel gratis untuk para pengunjung. Karena website penerbit banyak pengunjungnya, maka pihak pengiklan akan berani membayar mahal. Bukankah ini keuntungan finansial juga?

Kalau begitu, kenapa saya tidak membuat penerbit online saja? Saya pikir penerbit online juga membutuhkan modal uang. Maka perusahaan lebih mudah menggarapnya. Sederhananya kita harus membayar editor, bukan?

Sekarang kan sudah banyak penerbit online, seperti Kompas, Detikcom, dan blog-blog lain. Lalu apa bedanya penerbit online yang ada di kepala saya dengan penerbit yang sudah ada tersebut?

Contoh penerbit online di atas merupakan situs berita. Sedangkan seabreg blog biasanya berjalan tanpa editor yang berakibat tidak layak dijadikan referensi ilmiah. Bahkan kita ingat Wikipedia. Hampir semua siswa/mahasiswa yang kenal internet pernah menggunakan Wikipedia sebagai referensinya. Sayang seribu kali sayang Wikipedia ditolak validitasnya oleh kalangan kampus.

Lalu, saya melihat beberapa website ilmiah yang menyediakan artikel ilmiah, jurnal ilmiah, e-book ilmiah, dan sejenisnya. Mereka tampil dalam bentuk pengabdian 100% karena di website-nya tidak ada iklan satu pun. Ada juga website ilmiah yang memikirkan uang, tapi mereka hanya berani memasang fasilitas donasi.

Entah apa pertimbangan mereka. Apakah website ilmiah itu akan rusak kalau dipasangi iklan? Kalau tanpa iklan, lalu website tersebut mau hidup dari mana, dari donasi? Lalu apa bedanya donasi dengan iklan? Apakah donasi lebih terhomat dari uang iklan? Saya pikir tidak. Bahkan saya melihatnya donasi itu tampak meminta-minta dalam bentuk terselubung, pura-pura tidak butuh uang padahal sangat menginginkannya. He…he…

Sementara iklan itu lebih jujur bahwa kita benar-benar membutuhkan uang, dan kita pun tidak meminta-minta karena besarnya uang dari iklan akan sebanding dengan kualitas website kita.

Bukankah tulisan ilmiah itu pengabdian? Betul juga. Namun tidak berarti tulisan ilmiah itu harus anti bayaran. Kita bayangkan jurnal ilmiah yang dibuat mahasiswa dan dosen yang sudah diterbitkan. Apakah mereka cukup menerima sertifikat bahwa mereka sudah mempunyai jurnal ilmiah yang diterbitkan?

Kan ada juga jurnal ilmiah yang bagian dari proyek, itu ada bayarannya juga. Kalau begitu saya setuju. Namun kalau jurnal ilmiah tidak juga menghasilkan uang, kenapa tidak diterbitkan di website yang beriklan saja?

Website ilmiah yang beriklan? Ya betul. Dengan cara ini, para peneliti dan penulis akan mendapatkan bayaran dari para pengiklan. Jadi, itung-itung honor menulis artikel ke surat kabar deh. Tidak salah, bukan? Bahkan bisa jadi membantu meringankan beban penelitian mereka, walaupun sedikit.

Ah dunia ilmiah dipasangi iklan itu memalukan? Kan para peneliti itu orang hebat? Memang hebat, tapi saya sendiri pernah mengalami kehabisan anggaran penelitian, padahal penelitian saya tidak hebat-hebat amat, bahkan sudah ada anggarannya dari beasiswa, walaupun sedikit. Bagaimana nasibnya peneliti yang tidak dapet bantuan? Mau pinjam sama mertua?

Sudahlah, kita menulis karya ilmiah secara online, kemudian kita pasangi iklan. Kita berharap ada uang dari iklan tersebut karena pengunjung karya ilmiah lumayan juga tuh jumlahnya, minimal mahasiswa dan dosen, kan?

Sejenak kita ingat nasib Wikipedia. Website ini sangat terkenal. Karena website ini tidak memasang iklan, maka baru-baru ini saya membaca pesan “permohonan donasi kepada para pengunjungnya.” Ini terjadi pada website ilmiah besar dunia, lalu bagaimana nasibnya website ilmiah kelas teri, mau mati suri atau mati sekalian karena pura-pura tidak butuh uang?

Ah tulisan ini terlalu ngelantur. Maklum ditulis menjelang tidur. Apabila ada pihak yang merasa teriris hatinya, mohon kata-kata saya di atas dimaafkan. Masa mau marah pada orang bodoh seperti saya? Nanti bisa jadi ikut-ikutan bodoh dong… J

Jadi, sudah siapkah membuat penerbit online? Harus dong. Kalau belum, harus segera dipersiapkan. Bagaimana dengan Kitaabah.com? Kalau para penulisnya sungguh-sungguh membuat artikel yang banyak dan berkualitas, bukan tidak mungkin akan berbuah menjadi penerbit online, tinggal bersiap membayar editor, izin, dan ISBN? Jadi, tantangannya adalah kita harus punya duit dulu nih dari pengiklan di Kitaabah… J

Apakah penerbit online ini hanya sekedar mimpi? Tidak juga. Toko online juga yang semula dianggap tidak mungkin, sekarang semakin menjamur. Sebut saja amazon.com, tokobagus.com, bhineka.com, dan lain-lain.

Sekarang pertanyaannya, mau enggak nih punya penerbit online? J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

4 comments:

  1. tantangan itu bisa meningkatkan skill kita. rencanakan saja kang dengan matang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih baru sebatas mimpi, sedikit rencana. Semoga kalau saya agak lambat mewujudkannya, ada perusahaan yang mewujudkannya lebih cepat, sehingga bangsa ini tidak ada alasan lagi kekurangan referensi.

      Pembaca gratis baca, penerbit online pun tetap dapet uang dari pengiklan :)

      Delete
  2. Dalam mengkaji perkembangan penerbit offline dewasa, kita harus mengetahui statistiknya, apakah piramidanya semakin tinggi atau semakin pendek?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul-betul, Mas. Saya harus cari tahu itu. Namun dugaan saya sementara, khusus di Indonesia, penerbit offline masih berjaya saat ini karena menurut beberapa sumber sekarang Indonesia masih jamannya kompetisi antara penerbit besar dan self publishing.

      Terimakasih, Mas.

      Delete