Pernah suatu
waktu, saya membaca bahwa ke depan penerbit online akan bersaing ketat dengan
penerbit offline (konvensional). Salah satu keunggulan penerbit online adalah
budget penerbitan dan pemasaran relatif lebih murah.
Sebenarnya
saya juga pernah membaca bahwa penerbitan saat ini sudah mengalami perubahan.
Kalau dulu para penulis itu harus mengantri untuk diseleksi oleh
penerbit-penerbit keren, namun sekarang sudah mengenal self publishing.
Artinya, penulis memiliki penerbit sendiri, sehingga tidak khawatir berkas
bukunya akan ditolak.
Namun
demikian, self publishing tidak mudah juga. Memang mudah ketika penerbitan.
Tapi ketika penjualan, banyak juga yang tidak laku-laku yang berujung gulung
tikar. Bukankah sebagian pembeli akan lebih percaya diri membeli buku dari
penerbit dan penulis ternama? Kecuali kalau pembelinya berasal dari
siswa/mahasiswa sendiri, kerabat kerja, dan orang-orang yang kenal kepada
penulisnya.
Tapi katanya
tidak sedikit yang self publishing sukses juga. Self publishing juga tidak
muncul begitu saja. Penerbitan gaya ini salah satunya muncul mungkin sebagai
bentuk protes kepada sebagian penerbit ternama yang lebih mengutamakan
popularitas penulis.
Mengutamakan
popularitas penulis, maksudnya? Saya sering mendengar “berita burung” bahwa
kalau “penulisnya sudah populer, maka bukunya akan lebih mudah diterbitkan.
Sedangkan kalau penulisnya belum populer, maka bukunya cenderung akan ditolak,
kecuali kalau benar-benar keren.”
Ke depan
diperkirakan penerbit online yang akan bermain. Selain lebih hemat biaya
penerbitan, pemasaran juga relatif lebih cepat karena nama penerbit sudah
terpajang di alamat URL-nya dan kekuatan search engine yang semakin hebat.
Salah satu bentuknya adalah e-book. Namun saya menduga, tidak hanya e-book yang
akan jadi perhatian penerbit online, artikel gratis juga akan menjadi
perhatiannya.
Apa
untungnya artikel gratis untuk penerbit online? Jawabannya adalah uang dari
iklan. Penerbit menyediakan artikel gratis untuk para pengunjung. Karena
website penerbit banyak pengunjungnya, maka pihak pengiklan akan berani
membayar mahal. Bukankah ini keuntungan finansial juga?
Kalau
begitu, kenapa saya tidak membuat penerbit online saja? Saya pikir penerbit
online juga membutuhkan modal uang. Maka perusahaan lebih mudah menggarapnya.
Sederhananya kita harus membayar editor, bukan?
Sekarang kan
sudah banyak penerbit online, seperti Kompas, Detikcom, dan blog-blog lain.
Lalu apa bedanya penerbit online yang ada di kepala saya dengan penerbit yang
sudah ada tersebut?
Contoh
penerbit online di atas merupakan situs berita. Sedangkan seabreg blog biasanya
berjalan tanpa editor yang berakibat tidak layak dijadikan referensi ilmiah.
Bahkan kita ingat Wikipedia. Hampir semua siswa/mahasiswa yang kenal internet
pernah menggunakan Wikipedia sebagai referensinya. Sayang seribu kali sayang
Wikipedia ditolak validitasnya oleh kalangan kampus.
Lalu, saya
melihat beberapa website ilmiah yang menyediakan artikel ilmiah, jurnal ilmiah,
e-book ilmiah, dan sejenisnya. Mereka tampil dalam bentuk pengabdian 100%
karena di website-nya tidak ada iklan satu pun. Ada juga website ilmiah yang
memikirkan uang, tapi mereka hanya berani memasang fasilitas donasi.
Entah apa
pertimbangan mereka. Apakah website ilmiah itu akan rusak kalau dipasangi
iklan? Kalau tanpa iklan, lalu website tersebut mau hidup dari mana, dari
donasi? Lalu apa bedanya donasi dengan iklan? Apakah donasi lebih terhomat dari
uang iklan? Saya pikir tidak. Bahkan saya melihatnya donasi itu tampak
meminta-minta dalam bentuk terselubung, pura-pura tidak butuh uang padahal
sangat menginginkannya. He…he…
Sementara
iklan itu lebih jujur bahwa kita benar-benar membutuhkan uang, dan kita pun
tidak meminta-minta karena besarnya uang dari iklan akan sebanding dengan
kualitas website kita.
Bukankah
tulisan ilmiah itu pengabdian? Betul juga. Namun tidak berarti tulisan ilmiah
itu harus anti bayaran. Kita bayangkan jurnal ilmiah yang dibuat mahasiswa dan
dosen yang sudah diterbitkan. Apakah mereka cukup menerima sertifikat bahwa
mereka sudah mempunyai jurnal ilmiah yang diterbitkan?
Kan ada juga
jurnal ilmiah yang bagian dari proyek, itu ada bayarannya juga. Kalau begitu
saya setuju. Namun kalau jurnal ilmiah tidak juga menghasilkan uang, kenapa
tidak diterbitkan di website yang beriklan saja?
Website
ilmiah yang beriklan? Ya betul. Dengan cara ini, para peneliti dan penulis akan
mendapatkan bayaran dari para pengiklan. Jadi, itung-itung honor menulis
artikel ke surat kabar deh. Tidak salah, bukan? Bahkan bisa jadi membantu
meringankan beban penelitian mereka, walaupun sedikit.
Ah dunia
ilmiah dipasangi iklan itu memalukan? Kan para peneliti itu orang hebat? Memang
hebat, tapi saya sendiri pernah mengalami kehabisan anggaran penelitian,
padahal penelitian saya tidak hebat-hebat amat, bahkan sudah ada anggarannya
dari beasiswa, walaupun sedikit. Bagaimana nasibnya peneliti yang tidak dapet
bantuan? Mau pinjam sama mertua?
Sudahlah,
kita menulis karya ilmiah secara online, kemudian kita pasangi iklan. Kita
berharap ada uang dari iklan tersebut karena pengunjung karya ilmiah lumayan
juga tuh jumlahnya, minimal mahasiswa dan dosen, kan?
Sejenak kita
ingat nasib Wikipedia. Website ini sangat terkenal. Karena website ini tidak
memasang iklan, maka baru-baru ini saya membaca pesan “permohonan donasi kepada
para pengunjungnya.” Ini terjadi pada website ilmiah besar dunia, lalu
bagaimana nasibnya website ilmiah kelas teri, mau mati suri atau mati sekalian
karena pura-pura tidak butuh uang?
Ah tulisan
ini terlalu ngelantur. Maklum ditulis menjelang tidur. Apabila ada pihak yang
merasa teriris hatinya, mohon kata-kata saya di atas dimaafkan. Masa mau marah
pada orang bodoh seperti saya? Nanti bisa jadi ikut-ikutan bodoh dong… J
Jadi, sudah
siapkah membuat penerbit online? Harus dong. Kalau belum, harus segera
dipersiapkan. Bagaimana dengan Kitaabah.com? Kalau para penulisnya
sungguh-sungguh membuat artikel yang banyak dan berkualitas, bukan tidak
mungkin akan berbuah menjadi penerbit online, tinggal bersiap membayar editor,
izin, dan ISBN? Jadi, tantangannya adalah kita harus punya duit dulu nih dari
pengiklan di Kitaabah… J
Apakah
penerbit online ini hanya sekedar mimpi? Tidak juga. Toko online juga yang
semula dianggap tidak mungkin, sekarang semakin menjamur. Sebut saja
amazon.com, tokobagus.com, bhineka.com, dan lain-lain.
Sekarang
pertanyaannya, mau enggak nih punya penerbit online? J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
tantangan itu bisa meningkatkan skill kita. rencanakan saja kang dengan matang :D
ReplyDeleteIya nih baru sebatas mimpi, sedikit rencana. Semoga kalau saya agak lambat mewujudkannya, ada perusahaan yang mewujudkannya lebih cepat, sehingga bangsa ini tidak ada alasan lagi kekurangan referensi.
DeletePembaca gratis baca, penerbit online pun tetap dapet uang dari pengiklan :)
Dalam mengkaji perkembangan penerbit offline dewasa, kita harus mengetahui statistiknya, apakah piramidanya semakin tinggi atau semakin pendek?
ReplyDeleteBetul-betul, Mas. Saya harus cari tahu itu. Namun dugaan saya sementara, khusus di Indonesia, penerbit offline masih berjaya saat ini karena menurut beberapa sumber sekarang Indonesia masih jamannya kompetisi antara penerbit besar dan self publishing.
DeleteTerimakasih, Mas.