Selagi masih muda saya merasa bangga
karena otak ini kerjanya hampir selalu ingin protes. Saya menganggap hal
tersebut sebagai pikiran kritis. Akan tetapi, setelah usia tua seperti saat
ini, ternyata terlalu kritis itu tidak baik juga karena akan berujung pada
seperti pekerjaan para pengamat yang bisanya hanya menyalahkan pekerjaan orang
lain, tapi mereka sendiri tidak bisa memberikan solusi nyata.
Ketika pemerintah dinilai masih jauh
dari perhatian terhadap rakyat, banyak pihak menyalahkan dan menuntut
pemerintah untuk ini dan itu. Bahkan sekarang aksi demo turun ke jalan hampir
dianggap solusi terbaik di negeri demokrasi besar ini.
Tidak cukup dalam skala besar. Saya
memperhatikan para klien yang menyewa sebuah layanan hosting. Pada suatu saat,
server di layanan hosting tersebut error, maka tidak sedikit klien yang
komplain dengan nada marah-marah.
Saya merenung sejenak…
Apakah kalau kita berada di pihak
pemerintah dijamin akan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh padahal ke anak
sendiri juga seringkali tidak peduli?
Apakah kalau kita menjadi penyedia
hosting benar-benar akan mampu menghindari error tersebut, padahal ngurus blog
satu dan sederhana juga sering pakai script dan artikel milik orang lain?
Memang kritikan itu harus
disampaikan. Namun tidak adakah jeda untuk sedikit bersabar? Tidak adakah
bahasa halus yang bisa dipilih?
Saya seringkali malu sendiri. Saya
seringkali mengkritik, mengeluarkan ide yang dianggap solusi, membantah, dan
melakukan penolakan atas ketidak-mampuan orang lain walaupun dalam hati. Akan
tetapi, ketika saya berada dalam posisi pembuat keputusan ternyata saya juga
tidak becus.
Sebagai contoh, saya sangat
bersemangat mengkritisi sistem pendidikan tanah air ini yang amburadul.
Ternyata saya masih kesulitan untuk sekedar bertindak adil dalam memberikan
nilai bagi mahasiswa yang mengerjakan tugas kelompok. Apakah harus semua
anggota kelompok diberi nilai ‘A’? Apakah yang jago berbicara saja yang diberi
nilai ‘A’? Tidak bisa begitu, bukan?
Sudah bertahun-tahun hidup di dunia
sekolah sehingga cukup tahu bahwa salam satu kelompok itu kinerja anggotanya
tidak semua sama. Begitu juga, tidak semua yang tidak jago berbicara kualitas
kerja kelompoknya lebih rendah karena bisa terjadi dia sebagai konseptor atau
eksekusi pembuatan naskah yang dipresentasikan.
Apakah ilmu psikologi pendidikan
dapat menebak dua pertanyaan di atas?
Apakah ilmu penerawangan bisa
menjadi solusinya?
Apakah ilmu hikmah bisa membaca
keadaan yang sebenarnya?
Andalah yang tahu jawabannya J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
haha, wah saya tak bisa menerawang kang. baru bisa menerawang duit 50rb metode 3d. ya betul itu, kita jangan hanya jadi pengamat yang cuma bisa diam dan biacara saja titik. kebetulan saya ingin menjajal konsep belajar saya nih, mind mapping dll, adakah akang punya tantangan buat saya? saya mau bangkit dari tidur yang lama.
ReplyDeleteheu...heu.."Jangan hanya pengamat, titik!"
DeleteSaya banyak membaca dulu tentang mind mapping ini, masih kurang ilmunya. Buku yg dari Kang Dens juga belum terbaca lagi nih, bentrok dengan ujian anak-anak. So sibuuuk... :)
Kang Dens kan sudah bangkit bersama novelnya. Sudah beres belum? Untuk Penulispro ya?
santai aja kang, semangat jadi pak dosennya ya, novel alhamdulillah udah nyampe 79 halaman, ke penulispro baru 1 yang saya ajukan kang, lagi nuggu,ya 2 bulanan, kalau nggak nongol saya tarik lagi novel pertamanya. inginnya ngajuin nonfiksi nih, cuma harus riset saya, yg namanya riset kan tahu sendiri hehe, butuh pulus. saya lagi ngincer anak SMA sekarang untuki riset saya, ya kita tetap berkarya semampunya :D
Delete