Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Saturday, January 4, 2014

Dosenku Yang Cantik dan Manis

Hari ini hari yang ku tunggu-tunggu. Meskipun kuliahnya tentang teori Komputer yang rumit buatku, tapi dosennya itu lho, sudah cantik, manis, baik, ramah, mudah dipahami lagi.


Dosen Reni namanya. Lebih tepatnya, dia seorang asisten dosen. Meskipun dia dosenku, tapi umurku tampaknya lebih tua darinya, maklum saja saya pernah berhenti kuliah 2 tahun.

Dalam sesi tanya jawab, aku hampir selalu paling aktif. Selain memang suka kecerdasannya yang mumpuni, kadang-kadang aku ingin menjajal juga kemampuannya. Hampir semua pertanyaanku mampu dijawab dengan lugas dan tepat. Aku tahu jawabannya tepat karena setidaknya sudah agak banyak membaca tentang hal yang akan ku tanyakan. Bukan menguji dosen, tapi ingin sharing pendapat saja.

Kerennya lagi, Dosen Reni tidak segan-segan mengatakan belum tahu jawabannya untuk beberapa pertanyaan yang aku ajukan. Inilah dosen yang suka membaca teori pendidikan, kataku.

Kuliah sudah selesai. “Dua orang perwakilan kelas, ditunggu di ruangan saya ya...!” Kata Bu Reni. Karena aku Koordinator Kelas, maka teman-teman yang lain menyarankan aku dan Ahmad yang ke ruang Bu Reni.

Setelah di depan pintu ruangan Bu Reni, aku disuruh masuk duluan sama Ahmad. “Permisi Bu!” Aku berdiri tepat di pintu yang sudah terbuka. Tidak terdengar jawaban apapun, selain tampak wajah cantik dan manis yang sedang bengong menatapku.

“Ada apa dengan Bu Reni? Harusnya aku yang bengong terpesona kecantikan dan keanggunannya. Meskipun dia dosen, tapi dia lebih muda, berjilbab tertutup, dan cerdas lagi,” kata hatiku.

Karena aku khawatir dia belum mengenalku, baru tiga kali pertemuan kami bertemu di kelas, aku pun mengulang salam lagi: “Maaf, permisi Bu. Saya perwakilan dari kelas 2A angkatan 2011.”

Bu Reni: “Oh iya-iya. Silahkan, Masuk!”
Meskipun Bu Reni sudah mempersilahkan masuk, tapi tetap masih tampak agak gugup atas kedatanganku. Aku dan Ahmad pun duduk setelah dipersilahkannya.

Bu Reni masih sibuk merapi-rapi buku yang tidak jelas mau digimanakan posisinya. “Maaf nih berantakan mejanya”, katanya. Wajahnya agak memerah dan tampak agak malu-malu.

Ahmad berbisik: “Mar, tampaknya Bu Reni gugup melihat wajahmu yang ganteng. Makanya kalau punya wajah, mendingan kaya saya saja, standaaar.” Ahmad menggodaku.

Memang meskipun aku tidak termasuk laki-laki yang sangat ganteng, tapi ada saja orang yang bilang ganteng. Ada juga yang bilang, imuuuut, katanya. Ih geli ah, laki-laki itu harusnya gagah perkasa kan? He…he..

Praaaaak…suara gelas terjatuh dan berantakan menimpa kaki Bu Reni yang sedang melepas slopnya, mungkin karena kepanasan. Rupanya gelas tersebut tersenggol tangan Bu Reni saat mindah-mindahin kertas di meja.

Bu Reni: “Maaf ya Mas, tersenggol!” Mukanya merah padam.

Saat dia terbangun dari kursinya, mungkin mau membersihkan pecahan beling tersebut, tiba-tiba. “Awwwwhh!” Kaki bu Reni terluka. Darahnya pun mulai keluar, membuatnya semakin panik.

Aku dan Ahmad sedikit kebingungan. Mau langsung ditolong, ini perempuan, bukan muhrim lagi. Masa aku pegang kakiknya, nanti disangka kurang ajar. Waddduuuuh, gimana nih? Tapi karena Bu Reni kembali terduduk di kursi, dan tampak menahan tangis, aku segera ngambil peralatan P3K yang ada di ruangannya. “Maaf, Saya bantu Bu!”

Bu Reni: “Enggak usah Mas. Biar saya sendiri saja. Tolong obat dan tisunya saja, maaf….!”

Aku berikan obat luka dan tisunya. Tapi kaki Bu Reni masih juga berdarah, dan ia pun tampak semakin kesakitan. “Ya Tuhan harus bagaimana nih?” Akhirnya aku ambilkan air hangat yang ada di ruang sebelah. Aku ajak pindah kursi duduknya. Ku lihat jari kaki Bu Reni, ternyata Ibu jarinya terkena pecahan gelas tadi, dan pecahan kecilnya masih tertancap.

Bu Reni: “Enggak usah Mas, enggak usah!” Mungkin dia masih enggak enak karena kami bukan muhrim.

Aku berusaha membuyarkan ketegangannya: “Tenang saja Bu, aku dulu pernah ikut PMR ketika SMA. Di sini ada saksi lagi, Mas Ahmad. Di sana ada Bu Siti lagi sengaja saya ajak ke sini, tapi beliau tidak berani melihat darah. Anggap saja aku seorang dokter amatiran, he…he…” candaku.

Akhirnya Bu Reni pun mengalah, tampak pasrah ibu jari kakinya diserahkan ke dokter bedah (baca: aku). Ya kalau buat aku, luka segitu bukan masalah besar. Aku kan dari kampung, luka yang biasa dilihat bukan luka kecil gitu, tapi luka karena golok atau kena batu besar.

Jadi, untuk luka Bu Reni bisa diatasi dengan cepat. Ku cabut belingnya dengan perlahan-lahan. Ku bersihkan darahnya dengan air hangat. Karena Ahmad menyodorkan alkohol, saya basuh lagi dengan alkohol agar tidak ada kuman tertinggal, obat lukapun tak ketinggalan. Terakhir ku balut dengan perban.

Aku: “Alhamdulillah sekarang sudah selesai Bu, tugas dokter bedahnya.” Bu Reni pun tersenyum, dan langsung mengucapkan terimakasih.

Karena masih terlihat shock, aku pun bercanda lagi: “Penanganan luka kakinya insyaAllah sudah selesai. Tinggal satu lagi….”

Bu Reni: “Apa Mas?”
Aku: “Penanganan hati yang belum selesai, Bu.”

Ahmad dan Bu Siti pun tersenyum kompak karena mereka sudah menduga Bu Reni suka sama aku. Buktinya, sering curhat, nanyain dan ngobrolin aku ke Bu Siti dan beberapa dosen lain. Mahasiswa pun curiga karena ada sikap Bu Reni yang agak beda kepadaku gitu lho…

Bu Reni pun ikut tersenyum….

Aku berbisik ke Ahmad: “Jadi, kita mau disuruh apa ya ke sini? Jadi dokter bedah dosen cantik? Dengan senang hati….!”

Ahmad: “Eits… hati-hati tuh Mas, jaga hati, jadikan peran Mas sebagai dokter, bukan muhrim lho…!”

Aku: “Astagfirullah….” Suaraku keras
Bu Reni: “Ada apa Mas?
Aku: “Eng…enggak ada apa-apa Mbak, eh Bu.”

“Ehemmm…ehemmmm”, Bu Siti batuk-batuk kecil dan senyum-senyum padaku. Ahmad pun tertawa kecil.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

2 comments:

  1. wah asik cerpennya, tentang dosen cantik, tapi namanya masih reni kang, sama seperti sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Kang masih tercampur. Apakah harus beda Kang nama pelaku di cerpen satu dengan yang lain?

      Saya lihat di beberapa cerpen, percakapan itu tidak disebutkan aku atau pembicaranya tapi langsung saja berisi ungkapannya. Nah, di sini saya masih kesulitan membaca cerpen.

      Kalau tulisan saya di atas kan malah mirip naskah percakapan/dialog. Apakah boleh cerpen seperti format di atas?

      Delete