Hari ini
hari yang ku tunggu-tunggu. Meskipun kuliahnya tentang teori Komputer yang
rumit buatku, tapi dosennya itu lho, sudah cantik, manis, baik, ramah, mudah
dipahami lagi.
Dosen Reni
namanya. Lebih tepatnya, dia seorang asisten dosen. Meskipun dia dosenku, tapi
umurku tampaknya lebih tua darinya, maklum saja saya pernah berhenti kuliah 2
tahun.
Dalam sesi
tanya jawab, aku hampir selalu paling aktif. Selain memang suka kecerdasannya
yang mumpuni, kadang-kadang aku ingin menjajal juga kemampuannya. Hampir semua
pertanyaanku mampu dijawab dengan lugas dan tepat. Aku tahu jawabannya tepat
karena setidaknya sudah agak banyak membaca tentang hal yang akan ku tanyakan.
Bukan menguji dosen, tapi ingin sharing pendapat saja.
Kerennya
lagi, Dosen Reni tidak segan-segan mengatakan belum tahu jawabannya untuk
beberapa pertanyaan yang aku ajukan. Inilah dosen yang suka membaca teori
pendidikan, kataku.
Kuliah sudah
selesai. “Dua orang perwakilan kelas, ditunggu di ruangan saya ya...!” Kata Bu
Reni. Karena aku Koordinator Kelas, maka teman-teman yang lain menyarankan aku
dan Ahmad yang ke ruang Bu Reni.
Setelah di
depan pintu ruangan Bu Reni, aku disuruh masuk duluan sama Ahmad. “Permisi Bu!”
Aku berdiri tepat di pintu yang sudah terbuka. Tidak terdengar jawaban apapun,
selain tampak wajah cantik dan manis yang sedang bengong menatapku.
“Ada apa
dengan Bu Reni? Harusnya aku yang bengong terpesona kecantikan dan
keanggunannya. Meskipun dia dosen, tapi dia lebih muda, berjilbab tertutup, dan
cerdas lagi,” kata hatiku.
Karena aku
khawatir dia belum mengenalku, baru tiga kali pertemuan kami bertemu di kelas,
aku pun mengulang salam lagi: “Maaf, permisi Bu. Saya perwakilan dari kelas 2A
angkatan 2011.”
Bu Reni: “Oh
iya-iya. Silahkan, Masuk!”
Meskipun Bu
Reni sudah mempersilahkan masuk, tapi tetap masih tampak agak gugup atas
kedatanganku. Aku dan Ahmad pun duduk setelah dipersilahkannya.
Bu Reni
masih sibuk merapi-rapi buku yang tidak jelas mau digimanakan posisinya. “Maaf
nih berantakan mejanya”, katanya. Wajahnya agak memerah dan tampak agak
malu-malu.
Ahmad
berbisik: “Mar, tampaknya Bu Reni gugup melihat wajahmu yang ganteng. Makanya
kalau punya wajah, mendingan kaya saya saja, standaaar.” Ahmad menggodaku.
Memang
meskipun aku tidak termasuk laki-laki yang sangat ganteng, tapi ada saja orang
yang bilang ganteng. Ada juga yang bilang, imuuuut, katanya. Ih geli ah,
laki-laki itu harusnya gagah perkasa kan? He…he..
Praaaaak…suara
gelas terjatuh dan berantakan menimpa kaki Bu Reni yang sedang melepas slopnya,
mungkin karena kepanasan. Rupanya gelas tersebut tersenggol tangan Bu Reni saat
mindah-mindahin kertas di meja.
Bu Reni:
“Maaf ya Mas, tersenggol!” Mukanya merah padam.
Saat dia
terbangun dari kursinya, mungkin mau membersihkan pecahan beling tersebut,
tiba-tiba. “Awwwwhh!” Kaki bu Reni terluka. Darahnya pun mulai keluar,
membuatnya semakin panik.
Aku dan
Ahmad sedikit kebingungan. Mau langsung ditolong, ini perempuan, bukan muhrim
lagi. Masa aku pegang kakiknya, nanti disangka kurang ajar. Waddduuuuh, gimana
nih? Tapi karena Bu Reni kembali terduduk di kursi, dan tampak menahan tangis,
aku segera ngambil peralatan P3K yang ada di ruangannya. “Maaf, Saya bantu Bu!”
Bu Reni: “Enggak
usah Mas. Biar saya sendiri saja. Tolong obat dan tisunya saja, maaf….!”
Aku berikan
obat luka dan tisunya. Tapi kaki Bu Reni masih juga berdarah, dan ia pun tampak
semakin kesakitan. “Ya Tuhan harus bagaimana nih?” Akhirnya aku ambilkan air
hangat yang ada di ruang sebelah. Aku ajak pindah kursi duduknya. Ku lihat jari
kaki Bu Reni, ternyata Ibu jarinya terkena pecahan gelas tadi, dan pecahan
kecilnya masih tertancap.
Bu Reni:
“Enggak usah Mas, enggak usah!” Mungkin dia masih enggak enak karena kami bukan
muhrim.
Aku berusaha
membuyarkan ketegangannya: “Tenang saja Bu, aku dulu pernah ikut PMR ketika
SMA. Di sini ada saksi lagi, Mas Ahmad. Di sana ada Bu Siti lagi sengaja saya
ajak ke sini, tapi beliau tidak berani melihat darah. Anggap saja aku seorang
dokter amatiran, he…he…” candaku.
Akhirnya Bu
Reni pun mengalah, tampak pasrah ibu jari kakinya diserahkan ke dokter bedah
(baca: aku). Ya kalau buat aku, luka segitu bukan masalah besar. Aku kan dari
kampung, luka yang biasa dilihat bukan luka kecil gitu, tapi luka karena golok
atau kena batu besar.
Jadi, untuk
luka Bu Reni bisa diatasi dengan cepat. Ku cabut belingnya dengan
perlahan-lahan. Ku bersihkan darahnya dengan air hangat. Karena Ahmad
menyodorkan alkohol, saya basuh lagi dengan alkohol agar tidak ada kuman
tertinggal, obat lukapun tak ketinggalan. Terakhir ku balut dengan perban.
Aku:
“Alhamdulillah sekarang sudah selesai Bu, tugas dokter bedahnya.” Bu Reni pun
tersenyum, dan langsung mengucapkan terimakasih.
Karena masih
terlihat shock, aku pun bercanda lagi: “Penanganan luka kakinya insyaAllah
sudah selesai. Tinggal satu lagi….”
Bu Reni: “Apa
Mas?”
Aku:
“Penanganan hati yang belum selesai, Bu.”
Ahmad dan Bu
Siti pun tersenyum kompak karena mereka sudah menduga Bu Reni suka sama aku.
Buktinya, sering curhat, nanyain dan ngobrolin aku ke Bu Siti dan beberapa
dosen lain. Mahasiswa pun curiga karena ada sikap Bu Reni yang agak beda
kepadaku gitu lho…
Bu Reni pun
ikut tersenyum….
Aku berbisik
ke Ahmad: “Jadi, kita mau disuruh apa ya ke sini? Jadi dokter bedah dosen
cantik? Dengan senang hati….!”
Ahmad:
“Eits… hati-hati tuh Mas, jaga hati, jadikan peran Mas sebagai dokter, bukan
muhrim lho…!”
Aku:
“Astagfirullah….” Suaraku keras
Bu Reni:
“Ada apa Mas?
Aku:
“Eng…enggak ada apa-apa Mbak, eh Bu.”
“Ehemmm…ehemmmm”,
Bu Siti batuk-batuk kecil dan senyum-senyum padaku. Ahmad pun tertawa kecil.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
wah asik cerpennya, tentang dosen cantik, tapi namanya masih reni kang, sama seperti sebelumnya
ReplyDeleteIya Kang masih tercampur. Apakah harus beda Kang nama pelaku di cerpen satu dengan yang lain?
DeleteSaya lihat di beberapa cerpen, percakapan itu tidak disebutkan aku atau pembicaranya tapi langsung saja berisi ungkapannya. Nah, di sini saya masih kesulitan membaca cerpen.
Kalau tulisan saya di atas kan malah mirip naskah percakapan/dialog. Apakah boleh cerpen seperti format di atas?