Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
Pesantren Katabah
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Friday, January 3, 2014

Jadi Asisten Pribadi Mahasiswi Cantik

Kring, kring, kriiiing, suara HP-ku berdering. Ketika dilihat, hah Pak Rektor. Wah, waaah, berbuat dosa apa aku di kampus? Perasaan enggak neko-neko, semua pekerjaan selesai, ngajar pun rajin.


“Halo, ada yang bisa saya bantu Pak?” Aku mengangkat telepon dengan hati sedikit dagdigdug. “Apa kabar Pak Komar? Maaf nih mengganggu hari libur Bapak.” Suara Pak Rektor datar dan bernada sangat ramah.

Belum juga aku menjawabnya, beliau sudah melanjutkan lagi pembicaraannya. “Apabila Pak Komar tidak keberatan, besok bisa ke rumah saya enggak? Ini nih komputer anak saya rusak. Sekalian minta motivasinya untuk belajar bahasa Inggris. Bisa kan Pak?” Nada yang penuh harisma, tapi sedang berusaha membuka diri agar sejajar dengan gaya bicaraku yang suka apa adanya.

“Oooh boleh Pak. InsyaAllah besok saya datang.” Hatiku terasa plong karena masalahnya bukan masalah pekerjaan di kampus. Ini pekerjaannya pekerjaan baru atau bisa dibilang proyek kecil-kecilan. “Lumayan buatku yang masih honorer.” Aku tertawa kecil.

Besoknya aku diperkenalkan dengan anak Pak Rektor. Wuiiiih, ternyata anaknya itu mahasiswiku. Karena terlalu kurang peduli anak siapa-anak siapanya, juga pertemuannya juga baru dua kali, aku tidak mencari tahu info siapa orangtua mahasiswaku? Kalau harus mengingat semua nama orangtua mahasiswa, bisa-bisa kepala pusing. Lha nama mahasiswa juga belum hapal semua.

Selesai memperbaiki komputer yang hanya selesai dengan install ulang Microsoft Word saja, aku diajak ngobrol tentang motivasi belajar, terutama belajar bahasa Inggris. Puterinya yang cantikpun duduk di samping beliau.

Rupanya aku dipanggil karena Pak Rektor sudah menginterogasi puterinya tentang cerita-cerita dari dosen di kelasnya. Maklum aku orang yang suka cerita, jadi sebelum ngajar, di tengah-tengah ngajar, bahkan sebelum pulang, seringkali bercerita. Apalagi diminta mahasiswa, oooow aku lebih senang lagi.

Aku juga bilang ke mahasiswa bahwa ketika mahasiswa minta aku bercerita, mereka kemungkinan besar sudah jenuh dengan materi kuliah. Mahasiswa pun tertawa, sebagai tanda membenarkan perkataanku.

Pak Rektor memulai obrolan lagi: “Anak saya bilang bahwa Pak Komar banyak cerita tentang kehidupan, termasuk usaha keras Pak Komar untuk lulus TOEFL. Saya ingin Bapak berkenan memotivasi anak saya. Sekarang Semester 3, inginnya Semester 5 sudah punya nilai TOEFL, dan yang paling penting ada semangat besar untuk melanjutkan S2. Ya, harapan ke depannya, mudah-mudahan saja dia bisa jadi dosen.”

Aku hanya bisa manggut-manggut saja, tidak hanya tersanjung, tapi tugas berat untuk membuktikan transfer motivasi belajarku ke puterinya. Memang sih dia mahasiswi yang cerdas, tapi situasinya berbeda. Dia hidup di keluarga serba ada, sementara aku disemangati karena situasi hidup yang serba pahit. “Tapi harus ku coba menjawab kepercayaan Rektorku tercinta ini,” hatiku berbisik.

Aku: “Saya hanya bercerita yang sederhana saja, sesuai kemampuan saya, Pak. Mungkin dosen lain masih banyak yang lebih baik. Ini mungkin kebetulan saja nama saya yang baru diceritakan oleh puteri Bapak.”

Aku melirik ke puteri Pak Rektor. Dia pun tersenyum simpu dengan paras cantik, anggun, imut, dan ramahnya. Pak Rektor pun ikut melirik puterinya, dan tersenyum.

“Saya inginnya Pak Komar sering main ke sini agar bisa memantau motivasi belajar anak saya. Kalau enggak keberatan, Pak Komar kan masih single, sekali-sekali tidur di sini juga boleh, kebetulan ada kamar kosong. Bahkan kalau saya, inginnya Pak Komar tinggal saja di sini, daripada di kampus.”

Aku sedikit terkejut, selain ada tawaran itu, kok rektor bisa tahu aku tinggal di mes kampus. Ketahuan miskinnya Hiks…hiks…, canda hatiku.

Sejak saat itu aku sering tidur di rumah Pak Rektor karena diminta bantu-bantu sebagian tugasnya juga. Akupun disediakan kamar khusus, yang kapanpun aku mau, aku bisa tidur di sana. Kuncipun sudah dikasih duplikasinya.

Aku sering duduk-duduk di depan kamar di sebelah belakang rumah karena ada tamannya. Kadang-kadang melepas penat, kadang mencari inspirasi, kadang juga sambil baca-baca buku.

Aku dan puteri Pak Rektor pun sering diskusi di sini. Bahkan kadang-kadang Pak Rektor dan isterinya pun ikut ngobrol-ngobrol di sini pula. Kami sudah seperti keluarga, Pak Rektor pun sudah menganggapku seperti anak angkatnya walaupun baru sekitar dua bulan tinggal di sana. Itu juga tidak tiap hari.

“Mas, eh maaf…. Pak Komar, dipanggil Ayah!” Puteri Pak Rektor mamanggilku. Namanya Reni. Aku menoleh ke arahnya, yang dilihat senyum malu-malu, pipinya pun memerah, membuat Reni semakin cantik.

“Maaf ya Pak Komar, perasaan mau manggil kakak saya”, kata Reni. Memang dia punya kakak laki-laki juga yang sudah Semester akhir.

Aku hanya ngangguk saja sambil tersenyum. Kemudian segera ke ruang tengah menemui Pak Rektor.

Pak Rektor: “Pak Komar, besok bisa anter Reni beli buku ya?”
Aku hanya bengong saja karena tidak bisa nyetir mobil. Masa pakai Astrea Grand-ku? Mau pinjam motor punya kakaknya, kan aku belum bisa pakai motor model baru. Duuuuh…. Gregettttt

“Enggak apa-apa, yang nyetir Reni saja. Pak Komar hanya nemenin saja biar enggak sendirian. Sekalian mungkin dibantu rekomendasi buku-bukunya.” Pak Rektor memaklumi ketidak-mampuanku.

Esok harinya, aku dan Reni pergi ke toko buku. Aku merasa kurang nyaman, masa distir sama cewek, anak rektor lagi. Mmmmh…. nasib-nasib, memang begini kalau orang kecil, jangankan nyetir, membuka pintu mobilnya saja tidak bisa.

“Pak, sekarang kita ke Pasar Buku Palasari dulu ya…!” Reni memecah keteganganku. “Oh iya, iya, iya, Reni kan yang lebih tahu,” jawabku. Reni pun tersenyum tampak nyaman-nyaman saja jadi ‘sopirku’. Ini anak benar-benar tawadhu, tidak membeda-bedakan status sosial.

Kami pun ngobrol-ngobrol, mulai tentang kampus hingga pengalaman hidup. Dia tampak asik menjadi pendengar dan sekali-kali bertanya serta ikut curhat, sambil sesekali bertatapan mata denganku yang berujung senyum kecil di bibir mungilnya.

“Neng, sebenarnya saya kurang nyaman sih duduk di sini. Masa Neng Reni yang nyetir?” Aku berusaha jujur. “Kalau gitu, besok Pak Komar yang nyetir deh,” Neng Reni menguji nyali saya, sambil tersenyum manis.
(Catatan: Neng itu panggilan buat perempuan yang lebih muda dalam bahasa Sunda. Padanannya De, Dik)

“Uuuh, bukan saya tak mau nyetir, kan tahu sendiri saya belum bisa nyetir mobil.” Wajahku merah padam.

Reni: “Siapa yang minta nyetir mobil. Besok Pak Komar nyetir motor kesayangan Bapak. Aku dibonceng ke Toko Buku Gramedia.”

Aku: “Neng Reni mau dibonceng pakai Si Hitam? Ah yang benar saja, Neng?”
(Si Hitam adalah panggilan kesayanganku untuk sepeda motor Astrea Grand yang warnanya hitam semua, motor tua yang sering menemaniku ke kampus)

Reni: “Iya Pak. Saya ingin menikmati jalan-jalan pakai sepeda motor dengan santai. Kakakku biasanya suka ngebut, enggak mau diajak ngobrol lagi. Dia kurang suka ngobrol masalah kampus.”

Aku: “Saya sih senang-senang saja, kalau Neng Reni mau.” Walaupun masih setengah enggak percaya, aku berusaha percaya saja.

Tiba di Toko Buku Palasari, berburu buku pun dimulai. Di sebuah toko buku, Reni sibuk memilih buku yang dibutuhkannya. Sementara aku melirik ke sebuah novel.
Ibu Pemilik Toko: “Novel ini, Mas. Ini cocok buat pacar Mas yang cantik ini.”
Aku: “Ah ibu, ini bukan pac….”
Belum selesai bilang “Ini bukan pacarku”, Reni keburu nanya pendapatku tentang salah satu judul buku. Aku pun membaca sekilas buku tersebut dan merekomendasikannya.

Ibu Pemilik Toko: “Tambah yang ini Neng! Judulnya ‘Keluarga Sakinah’, biar cepet ke pelaminan. Neng dan Mas pasangan yang sangat serasi deh.”
Aku: “Maaf bu, ini bukan pac….”
Kali kedua, pembicaraanku tidak selesai, Reni keburu nanya lagi isi buku yang lain. Aku masih tertegun.
Aku: “Maaf ya Neng, kata-kata Ibu barusan….!” Aku agak enggak enak rasa, takut Reni marah.

Reni: “Enggak apa-apa Mas. Di sini manggilnya Mas Komar saja ya, biar enggak terlalu formal?”

Aku: “Boleh, apa saja Neng.” Memang aku kurang peduli dengan sebutan Pak, Mas, atau yang lainnya.

Sesaat aku ngambil buku bahasa Arab, sebuah buku hampir terjatuh. Uuups tanganku bersentuhan dengan tangan Reni yang sama-sama ingin menyelamatkan buku itu. Aku segera minta maaf karena dari awal kenal belum bersentuhan. Tapi Reni hanya tersenyum kecil saja.

Reni: “Kok beli buku bahasa Arab, Mas?” Kan ngajarnya Komputer?
Aku: “Iya, saya sekali-kali belajar bahasa Arab sendiri. Jangan sampai belajar bahasa Inggris dianggap wajib, sementara bahasa Arab tidak.”

Reni: “Kalau gitu, aku juga mau belajar bahasa Arab ke Mas Komar ah. Kalau buku bahasa Arab sudah banyak di rumah, tapi bingung belum ngerti-ngerti. Bahkan aku masih kesulitan menggunakan kamus Bahasa Arab-nya. Ya, Mas?”

Reni agak manja, tapi tetap tampak alim karena ia juga berkerudung panjang menutupi dada, pandangannya pun tidak lama-lama bertatapan.


“Ehem…ehemm”, suara batuk kecil dari Si Ibu Pemilik Toko Buku memecah obrolan akrab aku dan Reni. Si Ibu pun senyum-senyum kepada kami. Reni pun ikut tersenyum kecil dengan pipi lesung pipitnya yang agak memerah.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

4 comments:

  1. wah, bisa jadi novel nih Kang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. he...he..masih harus belajar Kang. Sekarang baru baca-baca cerpen dulu

      Delete
  2. wah pak dosen hebat nich puya mahasiswi cantik hehehe pasti betah banget ya pak kalau ngajar di kampur :D

    mau donk diajar sama pak dosen hehehe ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau mau belajar, dengan senang hati Neng Reni yang cantiiiik.

      Eh ini bukan Reni, tapi Mbak Rini :)

      Delete