Kring,
kring, kriiiing, suara HP-ku berdering. Ketika dilihat, hah Pak Rektor. Wah,
waaah, berbuat dosa apa aku di kampus? Perasaan enggak neko-neko, semua
pekerjaan selesai, ngajar pun rajin.
“Halo, ada
yang bisa saya bantu Pak?” Aku mengangkat telepon dengan hati sedikit
dagdigdug. “Apa kabar Pak Komar? Maaf nih mengganggu hari libur Bapak.” Suara
Pak Rektor datar dan bernada sangat ramah.
Belum juga
aku menjawabnya, beliau sudah melanjutkan lagi pembicaraannya. “Apabila Pak
Komar tidak keberatan, besok bisa ke rumah saya enggak? Ini nih komputer anak
saya rusak. Sekalian minta motivasinya untuk belajar bahasa Inggris. Bisa kan
Pak?” Nada yang penuh harisma, tapi sedang berusaha membuka diri agar sejajar
dengan gaya bicaraku yang suka apa adanya.
“Oooh boleh
Pak. InsyaAllah besok saya datang.” Hatiku terasa plong karena masalahnya bukan
masalah pekerjaan di kampus. Ini pekerjaannya pekerjaan baru atau bisa dibilang
proyek kecil-kecilan. “Lumayan buatku yang masih honorer.” Aku tertawa kecil.
Besoknya aku
diperkenalkan dengan anak Pak Rektor. Wuiiiih, ternyata anaknya itu
mahasiswiku. Karena terlalu kurang peduli anak siapa-anak siapanya, juga
pertemuannya juga baru dua kali, aku tidak mencari tahu info siapa orangtua
mahasiswaku? Kalau harus mengingat semua nama orangtua mahasiswa, bisa-bisa
kepala pusing. Lha nama mahasiswa juga belum hapal semua.
Selesai
memperbaiki komputer yang hanya selesai dengan install ulang Microsoft Word
saja, aku diajak ngobrol tentang motivasi belajar, terutama belajar bahasa
Inggris. Puterinya yang cantikpun duduk di samping beliau.
Rupanya aku
dipanggil karena Pak Rektor sudah menginterogasi puterinya tentang
cerita-cerita dari dosen di kelasnya. Maklum aku orang yang suka cerita, jadi
sebelum ngajar, di tengah-tengah ngajar, bahkan sebelum pulang, seringkali bercerita.
Apalagi diminta mahasiswa, oooow aku lebih senang lagi.
Aku juga
bilang ke mahasiswa bahwa ketika mahasiswa minta aku bercerita, mereka
kemungkinan besar sudah jenuh dengan materi kuliah. Mahasiswa pun tertawa,
sebagai tanda membenarkan perkataanku.
Pak Rektor
memulai obrolan lagi: “Anak saya bilang bahwa Pak Komar banyak cerita tentang
kehidupan, termasuk usaha keras Pak Komar untuk lulus TOEFL. Saya ingin Bapak
berkenan memotivasi anak saya. Sekarang Semester 3, inginnya Semester 5 sudah
punya nilai TOEFL, dan yang paling penting ada semangat besar untuk melanjutkan
S2. Ya, harapan ke depannya, mudah-mudahan saja dia bisa jadi dosen.”
Aku hanya
bisa manggut-manggut saja, tidak hanya tersanjung, tapi tugas berat untuk
membuktikan transfer motivasi belajarku ke puterinya. Memang sih dia mahasiswi
yang cerdas, tapi situasinya berbeda. Dia hidup di keluarga serba ada,
sementara aku disemangati karena situasi hidup yang serba pahit. “Tapi harus ku
coba menjawab kepercayaan Rektorku tercinta ini,” hatiku berbisik.
Aku: “Saya
hanya bercerita yang sederhana saja, sesuai kemampuan saya, Pak. Mungkin dosen
lain masih banyak yang lebih baik. Ini mungkin kebetulan saja nama saya yang
baru diceritakan oleh puteri Bapak.”
Aku melirik
ke puteri Pak Rektor. Dia pun tersenyum simpu dengan paras cantik, anggun,
imut, dan ramahnya. Pak Rektor pun ikut melirik puterinya, dan tersenyum.
“Saya
inginnya Pak Komar sering main ke sini agar bisa memantau motivasi belajar anak
saya. Kalau enggak keberatan, Pak Komar kan masih single, sekali-sekali tidur
di sini juga boleh, kebetulan ada kamar kosong. Bahkan kalau saya, inginnya Pak
Komar tinggal saja di sini, daripada di kampus.”
Aku sedikit
terkejut, selain ada tawaran itu, kok rektor bisa tahu aku tinggal di mes
kampus. Ketahuan miskinnya Hiks…hiks…, canda hatiku.
Sejak saat
itu aku sering tidur di rumah Pak Rektor karena diminta bantu-bantu sebagian
tugasnya juga. Akupun disediakan kamar khusus, yang kapanpun aku mau, aku bisa
tidur di sana. Kuncipun sudah dikasih duplikasinya.
Aku sering
duduk-duduk di depan kamar di sebelah belakang rumah karena ada tamannya.
Kadang-kadang melepas penat, kadang mencari inspirasi, kadang juga sambil
baca-baca buku.
Aku dan
puteri Pak Rektor pun sering diskusi di sini. Bahkan kadang-kadang Pak Rektor
dan isterinya pun ikut ngobrol-ngobrol di sini pula. Kami sudah seperti
keluarga, Pak Rektor pun sudah menganggapku seperti anak angkatnya walaupun
baru sekitar dua bulan tinggal di sana. Itu juga tidak tiap hari.
“Mas, eh
maaf…. Pak Komar, dipanggil Ayah!” Puteri Pak Rektor mamanggilku. Namanya Reni.
Aku menoleh ke arahnya, yang dilihat senyum malu-malu, pipinya pun memerah,
membuat Reni semakin cantik.
“Maaf ya Pak
Komar, perasaan mau manggil kakak saya”, kata Reni. Memang dia punya kakak
laki-laki juga yang sudah Semester akhir.
Aku hanya
ngangguk saja sambil tersenyum. Kemudian segera ke ruang tengah menemui Pak
Rektor.
Pak Rektor: “Pak
Komar, besok bisa anter Reni beli buku ya?”
Aku hanya
bengong saja karena tidak bisa nyetir mobil. Masa pakai Astrea Grand-ku? Mau
pinjam motor punya kakaknya, kan aku belum bisa pakai motor model baru.
Duuuuh…. Gregettttt
“Enggak
apa-apa, yang nyetir Reni saja. Pak Komar hanya nemenin saja biar enggak
sendirian. Sekalian mungkin dibantu rekomendasi buku-bukunya.” Pak Rektor memaklumi
ketidak-mampuanku.
Esok harinya,
aku dan Reni pergi ke toko buku. Aku merasa kurang nyaman, masa distir sama
cewek, anak rektor lagi. Mmmmh…. nasib-nasib, memang begini kalau orang kecil,
jangankan nyetir, membuka pintu mobilnya saja tidak bisa.
“Pak,
sekarang kita ke Pasar Buku Palasari dulu ya…!” Reni memecah keteganganku. “Oh
iya, iya, iya, Reni kan yang lebih tahu,” jawabku. Reni pun tersenyum tampak
nyaman-nyaman saja jadi ‘sopirku’. Ini anak benar-benar tawadhu, tidak
membeda-bedakan status sosial.
Kami pun
ngobrol-ngobrol, mulai tentang kampus hingga pengalaman hidup. Dia tampak asik
menjadi pendengar dan sekali-kali bertanya serta ikut curhat, sambil sesekali
bertatapan mata denganku yang berujung senyum kecil di bibir mungilnya.
“Neng,
sebenarnya saya kurang nyaman sih duduk di sini. Masa Neng Reni yang nyetir?”
Aku berusaha jujur. “Kalau gitu, besok Pak Komar yang nyetir deh,” Neng Reni
menguji nyali saya, sambil tersenyum manis.
(Catatan: Neng
itu panggilan buat perempuan yang lebih muda dalam bahasa Sunda. Padanannya De,
Dik)
“Uuuh, bukan
saya tak mau nyetir, kan tahu sendiri saya belum bisa nyetir mobil.” Wajahku
merah padam.
Reni: “Siapa
yang minta nyetir mobil. Besok Pak Komar nyetir motor kesayangan Bapak. Aku
dibonceng ke Toko Buku Gramedia.”
Aku: “Neng
Reni mau dibonceng pakai Si Hitam? Ah yang benar saja, Neng?”
(Si Hitam
adalah panggilan kesayanganku untuk sepeda motor Astrea Grand yang warnanya
hitam semua, motor tua yang sering menemaniku ke kampus)
Reni: “Iya
Pak. Saya ingin menikmati jalan-jalan pakai sepeda motor dengan santai. Kakakku
biasanya suka ngebut, enggak mau diajak ngobrol lagi. Dia kurang suka ngobrol
masalah kampus.”
Aku: “Saya
sih senang-senang saja, kalau Neng Reni mau.” Walaupun masih setengah enggak
percaya, aku berusaha percaya saja.
Tiba di Toko
Buku Palasari, berburu buku pun dimulai. Di sebuah toko buku, Reni sibuk
memilih buku yang dibutuhkannya. Sementara aku melirik ke sebuah novel.
Ibu Pemilik
Toko: “Novel ini, Mas. Ini cocok buat pacar Mas yang cantik ini.”
Aku: “Ah
ibu, ini bukan pac….”
Belum
selesai bilang “Ini bukan pacarku”, Reni keburu nanya pendapatku tentang salah
satu judul buku. Aku pun membaca sekilas buku tersebut dan merekomendasikannya.
Ibu Pemilik
Toko: “Tambah yang ini Neng! Judulnya ‘Keluarga Sakinah’, biar cepet ke
pelaminan. Neng dan Mas pasangan yang sangat serasi deh.”
Aku: “Maaf
bu, ini bukan pac….”
Kali kedua,
pembicaraanku tidak selesai, Reni keburu nanya lagi isi buku yang lain. Aku
masih tertegun.
Aku: “Maaf
ya Neng, kata-kata Ibu barusan….!” Aku agak enggak enak rasa, takut Reni marah.
Reni:
“Enggak apa-apa Mas. Di sini manggilnya Mas Komar saja ya, biar enggak terlalu
formal?”
Aku: “Boleh,
apa saja Neng.” Memang aku kurang peduli dengan sebutan Pak, Mas, atau yang
lainnya.
Sesaat aku
ngambil buku bahasa Arab, sebuah buku hampir terjatuh. Uuups tanganku
bersentuhan dengan tangan Reni yang sama-sama ingin menyelamatkan buku itu. Aku
segera minta maaf karena dari awal kenal belum bersentuhan. Tapi Reni hanya
tersenyum kecil saja.
Reni: “Kok
beli buku bahasa Arab, Mas?” Kan ngajarnya Komputer?
Aku: “Iya,
saya sekali-kali belajar bahasa Arab sendiri. Jangan sampai belajar bahasa
Inggris dianggap wajib, sementara bahasa Arab tidak.”
Reni: “Kalau
gitu, aku juga mau belajar bahasa Arab ke Mas Komar ah. Kalau buku bahasa Arab
sudah banyak di rumah, tapi bingung belum ngerti-ngerti. Bahkan aku masih
kesulitan menggunakan kamus Bahasa Arab-nya. Ya, Mas?”
Reni agak
manja, tapi tetap tampak alim karena ia juga berkerudung panjang menutupi dada,
pandangannya pun tidak lama-lama bertatapan.
“Ehem…ehemm”,
suara batuk kecil dari Si Ibu Pemilik Toko Buku memecah obrolan akrab aku dan Reni.
Si Ibu pun senyum-senyum kepada kami. Reni pun ikut tersenyum kecil dengan pipi
lesung pipitnya yang agak memerah.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
wah, bisa jadi novel nih Kang :D
ReplyDeletehe...he..masih harus belajar Kang. Sekarang baru baca-baca cerpen dulu
Deletewah pak dosen hebat nich puya mahasiswi cantik hehehe pasti betah banget ya pak kalau ngajar di kampur :D
ReplyDeletemau donk diajar sama pak dosen hehehe ^^
Kalau mau belajar, dengan senang hati Neng Reni yang cantiiiik.
DeleteEh ini bukan Reni, tapi Mbak Rini :)