Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
Pesantren Katabah
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Sunday, January 12, 2014

Takut Keluar Kaidah Ilmu Pendidikan, Saya Bertanya Ke Ahlinya

Salah satu yang menjadi gaya saya dalam mengajar adalah tidak mau membuat mahasiswa tegang, apalagi takut. Alasan membuat mahasiswa tegang untuk pelatihan mental tetap belum menerima anggukan kepalaku ini.


Dalam beberapa sidang, saya pernah melakukan hal-hal yang tidak dilakukan penguji pada umumnya, seperti:
1.      Penguji lain asik ‘membantai’ mahasiswa karena mulai Bab I sudah banyak yang salah.

Sementara saya tidak setuju dengan ‘pembantaian’ tersebut karena saya berpikir bahwa tugas akhir itu hasil kerja bersama pembimbing. Jadi, kalau mau ‘membantai’ tugas akhir tersebut, ‘bantai’ juga pembimbingnya dong!

2.      Ketika hendak mulai presentasi, seorang mahasiswa mengalami kendala error di komputernya. Penguji lain terdiam duduk di kursi penguji, tidak mengeluarkan kata-kata atau tindakan untuk membantu memberikan solusinya.

Saya berkata untuk menenangkan mahasiswa dengan tawa-tawa kecil, sehingga mahasiswa juga ikut tertawa walaupun tampak agak dipaksakan. Karena mahasiswa tersebut belum juga mampu mengatasi error tersebut, maka saya turun langsung ikut mengatasinya sehingga presentasi siap dimulai dengan segera.

Karena saya sedikit takut tindakan di atas bisa memanjakan mahasiswa dan keluar dari kaidah Ilmu Pendidikan, saya bertanya kepada seorang mahasiswa jurusan Kurikulum jenjang S2 di salah satu perguruan tinggi. Alhasil, beliau setuju dengan tindakan saya, dan belum ada teori yang menyalahkan tindakan saya membantu mahasiswa tersebut.

Bukankah ujian tugas akhir itu ada kriteria penilaiannya? Apakah kriteria tersebut termasuk cara menghidupkan komputer? Apakah kriteria tersebut termasuk kemampuan mahasiswa mengatasi error komputernya? Setahu saya tidak (tiap jurusan mungkin saja berbeda), tapi kriteria penilaian tersebut terfokus pada tugas akhirnya. Jadi, enggak salah dong apabila seorang dosen ikut membantu ‘menghidupkan’ komputer mahasiswanya dalam situasi sidang?

Namun herannya, kenapa sebagian dosen yang lain tidak menunjukkan tindakan yang serupa? Bahkan ada yang beranggapan bahwa itu dibiarkan agar mahasiswa merasakan tegangnya suasana sidang demi alasan pelatihan mental?

Hal di atas sangat bertolak belakang dengan saya yang berpendapat bahwa situasi sidang itu tidak boleh ada yang membuat mahasiswa tegang. Kalaupun mahasiswa tersebut tetap tegang, paling tidak harus diminimalisir. Kenapa? Karena pada saat tegang, seseorang tidak mungkin mampu menyampaikan pesan yang terkandung pada karyanya (Tugas Akhir).

Lalu, untuk apa Tugas Akhir yang disusun berbulan-bulan hanya berujung di ‘gemetarnya’ suara mahasiswa karena ketakutan dosen pengujinya? Bukankah sebaiknya mahasiswa itu bisa memberikan kontribusi buat masyarakat sekitar? Kenapa TA tidak dijadikan salah satu bentuk kontribusi tersebut? Bahkan kalaupun mahasiswa tidak mampu menyampaikan pesan terbaiknya dari TA, boleh jadi penguji bisa menindaklanjuti TA tersebut agar tidak berakhir di meja sidang yang bertitel nilai A, B, C, D, dan E saja.

Sampai saat ini, saya masih kesulitan mencari dosen seperti harapan di atas. Apakah pemikiran saya yang salah? Atau mereka tidak mau berubah? Entahlah!

Sumber:

Seorang mahasiswa pascasarjana semester akhir yang berprofesi sebagai dosen honorer di beberapa perguruan tinggi swasta.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

No comments:

Post a Comment