Salah satu
yang menjadi gaya saya dalam mengajar adalah tidak mau membuat mahasiswa tegang,
apalagi takut. Alasan membuat mahasiswa tegang untuk pelatihan mental tetap
belum menerima anggukan kepalaku ini.
Dalam
beberapa sidang, saya pernah melakukan hal-hal yang tidak dilakukan penguji pada
umumnya, seperti:
1. Penguji lain
asik ‘membantai’ mahasiswa karena mulai Bab I sudah banyak yang salah.
Sementara saya tidak setuju dengan ‘pembantaian’ tersebut karena saya
berpikir bahwa tugas akhir itu hasil kerja bersama pembimbing. Jadi, kalau mau ‘membantai’
tugas akhir tersebut, ‘bantai’ juga pembimbingnya dong!
2. Ketika hendak
mulai presentasi, seorang mahasiswa mengalami kendala error di komputernya. Penguji
lain terdiam duduk di kursi penguji, tidak mengeluarkan kata-kata atau tindakan
untuk membantu memberikan solusinya.
Saya berkata untuk menenangkan mahasiswa dengan tawa-tawa kecil,
sehingga mahasiswa juga ikut tertawa walaupun tampak agak dipaksakan. Karena
mahasiswa tersebut belum juga mampu mengatasi error tersebut, maka saya turun
langsung ikut mengatasinya sehingga presentasi siap dimulai dengan segera.
Karena saya sedikit takut tindakan di atas bisa memanjakan mahasiswa dan
keluar dari kaidah Ilmu Pendidikan, saya bertanya kepada seorang mahasiswa
jurusan Kurikulum jenjang S2 di salah satu perguruan tinggi. Alhasil, beliau
setuju dengan tindakan saya, dan belum ada teori yang menyalahkan tindakan saya
membantu mahasiswa tersebut.
Bukankah ujian tugas akhir itu ada kriteria penilaiannya? Apakah
kriteria tersebut termasuk cara menghidupkan komputer? Apakah kriteria tersebut
termasuk kemampuan mahasiswa mengatasi error komputernya? Setahu saya tidak
(tiap jurusan mungkin saja berbeda), tapi kriteria penilaian tersebut terfokus
pada tugas akhirnya. Jadi, enggak salah dong apabila seorang dosen ikut
membantu ‘menghidupkan’ komputer mahasiswanya dalam situasi sidang?
Namun
herannya, kenapa sebagian dosen yang lain tidak menunjukkan tindakan yang serupa?
Bahkan ada yang beranggapan bahwa itu dibiarkan agar mahasiswa merasakan
tegangnya suasana sidang demi alasan pelatihan mental?
Hal di atas
sangat bertolak belakang dengan saya yang berpendapat bahwa situasi sidang itu
tidak boleh ada yang membuat mahasiswa tegang. Kalaupun mahasiswa tersebut
tetap tegang, paling tidak harus diminimalisir. Kenapa? Karena pada saat
tegang, seseorang tidak mungkin mampu menyampaikan pesan yang terkandung pada
karyanya (Tugas Akhir).
Lalu, untuk
apa Tugas Akhir yang disusun berbulan-bulan hanya berujung di ‘gemetarnya’
suara mahasiswa karena ketakutan dosen pengujinya? Bukankah sebaiknya mahasiswa
itu bisa memberikan kontribusi buat masyarakat sekitar? Kenapa TA tidak
dijadikan salah satu bentuk kontribusi tersebut? Bahkan kalaupun mahasiswa
tidak mampu menyampaikan pesan terbaiknya dari TA, boleh jadi penguji bisa
menindaklanjuti TA tersebut agar tidak berakhir di meja sidang yang bertitel
nilai A, B, C, D, dan E saja.
Sampai saat
ini, saya masih kesulitan mencari dosen seperti harapan di atas. Apakah
pemikiran saya yang salah? Atau mereka tidak mau berubah? Entahlah!
Sumber:
Seorang
mahasiswa pascasarjana semester akhir yang berprofesi sebagai dosen honorer di beberapa
perguruan tinggi swasta.
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment