Meskipun
saya sudah berusaha untuk membaca-baca tentang Prabowo, kekaguman saya terhadap
Jokowi masih lebih besar. Walaupun saya sudah berusaha untuk membaca beberapa
sumber tentang prestasi Prabowo, keunikan Jokowi masih dominan. Semoga saya
tidak “cinta buta”.
Saya
lepaskan dulu isu SARA dan serangan personal. Saya mencoba merenungkan keunikan
Jokowi dalam sebuah isu pencitraan. Yang paling dominan dari seorang Jokowi
adalah blusukan. Lawan politiknya menilai blusukan itu pencitraan. Benarkah?
Pagi
ini, saya membaca artikel seorang pakar manajemen Rhenald Kasali bahwa blusukan
itu semakin gencar dibicarakan oleh para CEO agar mereka turun sendiri ke bawah
[1]. Bahkan beliau menyebutkan, Pak Soeharto juga suka blusukan, namun
nuansanya berbeda, yakni bawahannya dominan menganut Asal Bapak Senang (ABS).
Masih
menurut Rhenald Kasali, Gus Dur juga melakukan blusukan ke luar negeri. Untuk apa?
Untuk mencegah dukungan luar negeri terhadap separatisme tanah air. Padahal saya
pernah dengar dulu, Gus Dur pernah dikritik karena terlalu sering jalan-jalan
ke luar negeri.
Pendapat
di atas meyakinkan bahwa blusukan itu bukan pencitraan apabila dilakukan dengan
sungguh-sungguh, antara lain tidak hanya di masa kampanye.
Dua
hal unik lagi dari Jokowi adalah melakukan kesepakatan bersama warga Lumpur
Lapindo agar apabila Jokowi terpilih jadi presiden, ia harus menuntaskan masalah
lumpur tersebut [2]. Ini sudah itikad dan keberanian yang bagus, kan?
Kemudian,
Jokowi menggemakan relawan-relawan pendukung Capres. Saya pikir ini gerakan
grass root di tengah-tengah hingar-bingar partai-partai besar, guru besar, dan
para selebritis mendukung Prabowo.
Kalaulah
PKS tidak tersandung suap daging sapi, ketua PPP tidak menjadi tersangka
korupsi, dan ketua Golkar bertanggung jawab terhadap masalah Lapindo, mungkin
saya semakin terpikat ke kubu Prabowo walaupun pada dasarnya selera
kepemimpinan saya lebih cocok ke Jokowi.
Sedikit
tentang seleraku, wibawa itu bukan hanya dilihat dari kepandaian bicara saja,
bukan pula dilihat dari sikap badan yang gagah, tapi dilihat dari kesungguhan
membantu rakyat, paling tidak mau berkomunikasi dengan rakyat. Saya pinjam
frase dari Anies Baswedan, “turun tangan” mungkin itu akan menjadikan seorang
pemimpin berwibawa.
Turun
tangan menemui masyarakat atau pegawai-pegawai negeri daerah itu tidak
semestinya langsung mendatangkan solusi oleh presiden. Akan tetapi, presiden
akan mampu mencocokkan antara laporan bawahannya dengan hasil pantauan sendiri
tentang keadaan di lapangan, walaupun sang presiden tidak mungkin mengetahui
semua keadaan di negeri ini. Tapi paling tidak, sampelnya punya. Kemudian tim
ahli yang akan menyusun solusinya.
Nah,
Jokowi dengan gaya blusukan, memiliki kesepakatan dengan korban Lapindo, dan
munculnya relawan-relawan bahkan sumbangan pro Jokowi, tidak bisa dipungkiri
lagi ini keunikan Capres Jokowi yang belum ditemukan di Capres lain. Ini juga
menjadi isyarat bahwa Jokowi mau berkomunikasi dengan rakyat kecil, tidak hanya
terduduk manis di kursi istana.
Apakah
ketiga keunikan di atas hanya pencitraan?
Saya
sedang terus berpikir walaupun tidak secerdas para politisi dan pakar hukum serta
pakar tata negara. Ini kan jaman demokrasi. Selama presiden tidak bersifat
otoriter, ketika ia mengingkari janji kepada masyarakat, apalagi mendzalimi
rakyat, maka rakyat bisa memecatnya.
Dengan
catatan, rakyat bisa memecat presiden selama sang presiden tidak otoriter. Kalau
otoriter itu sudah lain lagi ceritanya karena ia akan mengerahkan kekuatan
militer untuk mengunci mati kekuatan rakyat. Semoga tidak terjadi di negeri
ini.
Memecat
presiden?
Betul.
Kita bisa memecat Jokowi apabila ia mengingkari amanah rakyat Indonesia, bisa melalui
DPR-MPR maupun rakyat sendiri melakukan demo besar-besaran.
Kalau
ada pelengseran presiden, nambah pengeluaran negara dong? Benar, tapi toh
negeri ini senang menghamburkan-hamburkan uang negara kok. Gaya para pejabat
dan pesta Pilkada juga sudah menjadi favoritnya. Kenapa penggantian presiden
harus dipermasalahkan?
Istilah
“Pengadilan Rakyat” pun muncul ketika saya sering mendengar bahwa Jokowi akan
menjadi boneka Megawati atau PDIP. Di sini, saya mengharapkan ada komunitas
besar pendukung Jokowi agar ketika kebijakan Jokowi bersebrangan dengan PDIP,
ia memiliki pendukungnya.
Kita
ingat KPK yang kecil. Tapi karena para pendukung KPK besar, terutama yang
berasal dari berbagai LSM dan masyarakat luas, lembaga tersebut mampu memenjarakan
koruptor sekaliber menteri. Saya yakin kekuatan KPK ini tidak terlepas dari
dukungan para aktivis (masyarakat) yang anti korupsi, bukan dari Parpol, bukan
pula anggota dewan semata.
Sekilas,
KPK itu akan bisa menjadi boneka presiden SBY (Kita lihat sejarah pembentukan
KPK yang berasal dari presiden [3], ketua KPK dilantik oleh presiden [4], dan
laporannya pun diberikan kepada presiden [5]). Namun karena dukungan rakyat
kuat, maka Anas pun dilepas SBY untuk dijebloskan KPK menuju penjara.
Nah,
mungkinkah kita membuat komunitas besar untuk memantau dan mengkritis kepemimpinan
Jokowi apabila menjadi presiden RI? Seharusnya DPR sudah cukup, tapi saat ini
saya belum percaya sama DPR (Maaf…).
Sebenarnya
pengadilan rakyat ini bukan hanya untuk Jokowi, tapi bisa juga bisa diterapkan
pada Prabowo selama Prabowo Subianto tidak menerapkan gaya kepemimpinan otoriter.
Sumber:
[1]
bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/05/30/1355295/Mengapa.Manajemen.Blusukan.Menjadi.Populer.tetapi.Disambut.Sinis.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
[2]
news.detik.com/pemilu2014/read/2014/05/31/034837/2595988/1562/jokowi-dinilai-mampu-selesaikan-masalah-lapindo?9922022
[3]
id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi
[4]
wartapedia.com/nasional/korupsi/46-regulasi/6429-presiden-sby--resmi-melantik-pimpinan-kpk-periode-2011-2015
[5]
http://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu302002.pdf
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via WA, DM IG, Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment