Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba seorang mahasiswa bertanya
tentang Jama’ah Tabligh. Ia bercerita bahwa orangtuanya menelepon dan
menyatakan tidak setuju anaknya ikut program iktikaf 3 hari.
Memang saya pernah mendengar, membaca dan bahkan pernah diajak
untuk ikut pengajian rutin 3 hari tiap bulan oleh salah satu pemimpin Jama’ah
Tabligh yang ada di Bandung.
Mahasiswa: Bolehkah saya ikut program pengajian 3 hari ala Jama’ah
Tabligh?
Saya: Sebaiknya kamu bertanya ke ustadz, bukan ke saya?
Mahasiswa: Seandainya Bapak diajak bergabung ke Jama’ah
Tabligh, mau atau tidak?
Saya: Sampai saat ini, saya masih menolak untuk bergabung.
Mahasiswa: Alasan-alasan yang dikemukakan Jama’ah Tabligh hampir
sama dengan kitab-kitab yang saya pelajari. Jadi, di mana salahnya menurut
Bapak?
Ia juga menambahkan: “Khuruj yang dilakukan oleh Jama’ah
Tabligh terinpirasi dari Nabi Ibrahim yang meninggalkan Siti Hajar di tengah
gurun pasir Mekkah.”
Saya: Yang namanya juga keyakinan (agama), pasti pemeluknya
memiliki alasan yang kuat dan bisa mempengaruhi orang lain. Bahkan bisa rela
mati untuk membela keyakinannya.
Kalau kita ingin Khuruj mencontoh Nabi Ibrahim di atas, maka minimal
harus ditanyakan hal-hal berikut ini:
1. Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Isma’il kecil di
tengah gurun pasir, tapi Siti Hajar dan Isma’il semakin menunjukkan
kesalehannya. Apakah anak dan isteri kita yang ditinggalkan untuk berdakwah
sudah ditanamkan keyakinan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Siti
Hajar dan Isma’il kecil?
Saya beberapa kali mendengar bahwa: beberapa anak dan isteri
tidak terurus karena suaminya ikut Khuruj (dakwah keliling). Ini yang saya
tidak setuju.
Ada yang mengatakan bahwa para pengikut Jama’ah Tabligh suka
mengajak orang lain ke mesjid, bahkan ini menjadi salah satu program yang
dilakukan pada pengajian 3 hari bulanan itu. Ini juga saya kurang setuju.
Menurut saya, mengajak orang ke mesjid itu diperlukan
pemahaman yang baik dan santun. Misal, tidak bisa teriak-teriak melalui
pengeras suara: “Shalat, shalat, shalat, shalat…..!” Ini komunikasi yang
menyebalkan buat saya sebagai orang awam.
Orang tidak ke mesjid atau terlambat shalat itu pasti ada
alasannya, antara lain:
1. Sibuk dengan pekerjaan.
Ini bukan harus dikata-katain: “Jangan ngurus dunia melulu,
tapi akhirat lebih mulia!”
Tapi kita harus memberikan solusi agar orang lain mendapatkan
pekerjaan yang bisa shalat tepat waktu di mesjid.
2. Tidak ada yang menarik hati di mesjid
Daya tarik mesjid itu bukan berarti harus ada konser Dangdut,
tapi bacaan imam, sikap jema’ah yang sudah dikatan ustadz, kebersihan mesjid,
harus diperhatikan.
Kegiatan-kegiatan Mesjid yang tidak terlalu tampak Islami
bisa nambah daya tarik, seperti perpustakaan kecil, ada diskusi ringan
(obrolan) yang tidak terlalu agamis sehingga orang awam bisa berpendapat, dll.
3. Belum memiliki ilmunya
Ilmu memang penting sekali. Orang yang ke mesjid tanpa ilmu
seringkali suka menyalahkan orang yang tidak ke mesjid, padahal ia sendiri
tidak tahu ilmunya.
Kembali lagi ke Jama’ah Tabligh.
Mahasiswa: “Apakah sebagai Muslim harus Hijrah tempat untuk
berdakwah, kan Nabi Muhammad Saw juga hijrah ke Madinah?”
Saya: Kita harus memahami makna Hijrah dengan ilmu dan
ditafsirkan bukan secara harfiah.
Coba cari tahu dan renungkan! Kenapa Nabi hijrah? Renungan
sederhananya begini (tanpa berbicara tentang perintah wahyu):
1. Nabi hijrah itu untuk menyelamatkan kaum Muhajirin yang
sudah terancam keselamatannya oleh kafir Quraisy. Jangankan nyawa kaum
Muhajirin, Nabi juga mau dibunuh.
Apakah kita akan dibunuh oleh tetangga kita karena suka
mendakwahkan Islam? Kalau iya, memang harus hijrah (pindah tempat). Kalau
aman-aman saja, kenapa harus meninggalkan ladang dakwah di tetangga kita?
2. Dakwah Islam Nabi sebelum Hijrah mendapatkan penolakan
keras dari para tokoh Quraisy, termasuk para tokoh yang masih ada hubungan
keluarga dengan Nabi.
Apakah dakwah Islam kita ditolak keras oleh saudara kita? Kalau
ditolak mungkin bisa mempertimbangkan untuk hijrah. Tapi kalau damai-damai
saja, kenapa harus hijrah meninggalkan anak dan isteri yang masih membutuhkan
nafkah kita?
Mahasiswa:
Dengan khuruj diharapkan anak dan isteri tidak tergantung
kepada suami, tapi harus langsung kepada Allah SWT.
Saya: Kalau suami sudah mengajarkan Islam dengan baik kepada
anak dan isteri kemungkinan besar pada saat ada masalah anak dan isteri kita
akan lebih dekat kepada Allah daripada kepada suami.
Namun kalau tidak dididik Islam dulu, maka anak dan isteri
akan stres sendiri karena tidak ayah dan suami yang ikut meringankan bebannya.
Boleh jadi, anak kita kekurangan gizi, bahkan kehilangan semangat hidup dengan
dalih pasrah kepada Tuhan.
Sampai di sini, saya menghentikan obrolan tentang Jama’ah
Tabligh dan menyarankan mahasiswa tersebut bertanya kepada ustadz yang memiliki
ilmu luas, termasuk tentang Jama’ah Tablih, agar jawabannya lebih tepat.
Kesimpulannya:
Saya tidak pernah mengatakan suatu gerakan dakwah Islam
sebagai aliran sesat, tapi sudah berkali-kali menolak untuk bergabung di
dalamnya karena pemikiran mereka tidak bisa diterima oleh kepala saya sebagai
orang awam.
Sekali lagi, saya tidak mengatakan Jama’ah Tabligh sebagai
aliran sesat atau bid’ah, tapi saya menolak menjadi pengikutnya karena hati dan
kepala saya belum menyetujuinya. J
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
"Sekali lagi, saya tidak mengatakan Jama’ah Tabligh sebagai aliran sesat atau bid’ah, tapi saya menolak menjadi pengikutnya karena hati dan kepala saya belum menyetujuinya" aku suka bagian ini, tulisan yang bagus
ReplyDeleteSaya jd teringat dengan satu riwayat di jaman Baginda Rasul,kalau tidak salah saat itu usai sholat subuh,,seorang jemaah yang selalu berlama2 di dalam masjid dan kemudian dipanggil baginda Rasul,dan di jelaskan pada sahabat tersebut''bahwa mencari nafkah itu wajib juga'....[Pola keseimbangan],,sekian salam
ReplyDelete