Pada saat semangat juang menegakkan syiar Islam sedang
menggelora, tiba-tiba datang pertanyaan:
1. Apakah Anda ingin menjadi Muslim Kafah?
2. Apakah Anda ingin tinggal di negara Islam?
Wah, kita bisa langsung mengangguk. Bahkan kalau daya kritis
kita diabaikan, maka kita bisa langsung bergabung ke organisasi yang menawarkan
jawaban kedua pertanyaan di atas.
“Kita harus menjalankan Islam secara kafah dan harus
menegakkan negara berbentuk Khilafah yang berlandaskan Quran dan Hadits.”
Rasanya ada nuansa heroik mendengar ungkapan di atas ya…
Rasanya kita benar-benar menjadi Muslim sejati yang sempurna. Namun tenang
dulu, jangan terlalu kepedean…!
Memangnya seperti apa negara berlandaskan Quran dan Hadits? Hi…hi..
Saya tertawa karena dulu benak saya sempat terbersit bahwa negara yang bagus
itu harus berlandaskan Quran dan Hadits, bukan Pancasila.
Kemudian saya perhalus, bahwa Quran itu AD/ART-nya negara
Muslim dan ini sempat diiyakan oleh seorang aktivis organisasi pelopor Negara Islam
Khilafah.
Suatu hari saya diajak ngajar di suatu daerah oleh seorang
dosen Fakultas Dakwah. Di jalan, kami ngobrol-ngobrol ringan tentang politik
dan Islam. Eh, saya ditegur ketika bertanya: Apakah bisa dikatakan bahwa Quran
itu mirip AD/ART-nya negara Islam?
“Kenapa disangkal, Pak?” kata saya.
Teman saya baru senyum, mobil keburu tiba di tempat tujuan.
Kemudian saya renungkan lagi…
Iya saja, masa iya Quran itu disebut AD/ART karena sangat
berbeda. Quran itu lebih ke konsep menyeluruh, sedangkan AD/ART lebih spesifik.
Bagaimana dengan negara Islam berbasis Quran dan Hadits?
Kalau diucapkan memang nikmat dan indah. Tapi apakah mungkin negara
berlandaskan Pancasila diubah menjadi negara berlandaskan Quran dan Hadits?
Tafsiran terhadap 5 ayat Pancasila saja sudah begitu
rumitnya, apalagi para anggota DPR RI harus memahami tafsir 6.666 ayat Quran
dan seabreg Hadits. Yang mengerti Shahih Bukhari saja saya yakin masih bisa
dihitung jari. Apalagi Semua hadits, baik Shahih maupun Sunan.
Sampai saat ini, saya enggak percaya akan ada negara yang
menggunakan Quran dan Hadits sebagai landasan negaranya. Barangkali para
aktivis salah ucap tuh….
Yang logis itu, negara dijalankan berdasarkan nilai-nilai
Islam (Quran dan Hadits). Sementara itu, landasan negaranya pasti hasil
kesepakatan para ulama lagi, seperti halnya melakukan Qiyas terhadap Piagam Madinah
yang pernah digunakan di masa Rasulullah.
Tidak cukup melakukan qiyas terhadap Piagam Madinah, kita
juga harus mempertimbangkan landasan negara Islam yang digunakan Rasulullah
sebelum Hijrah dan setelah Fathul Makkah.
Seorang aktivis berkata: “Kalau negara kita Islam, maka semua
hukum Islam juga, maka keadilan pasti tercapai. Contoh, orang akan takut
mencuri karena tiap tangan pencuri akan dipotong.”
Terdengarnya sangat adil ya….
Tapi sebentar…bukan saya alergi aturan Islam, tapi saya
berkali-kali melihat kenyataan.
Hukum potong tangan untuk pencuri itu bagus, tapi masalahnya:
“Apakah para penegak hukumnya bisa dipercaya?”
Kalau kasusnya: “Seorang nenek miskin yang dituduh sebagai pencuri
kayu harus dipotong tangan, bagaimana?”
Bagaimana kalau melihat status tersangka Budi Gunawan? Siapa
yang mau dijatuhi hukum Islam? Budi Gunawan atau Abraham Samad?
Bagaimana dengan kasus Bibit & Candra KPK yang tidak
terbukti bersalah?
Nah, itu dia. Aturan Islam pasti baik, tapi para penegak
hukumnya, siapa yang bisa dipercaya?
Meskipun kita merindukan negara berbasis hukum Islam, tapi tidak
sesederhana mengganti kata Pancasila dengan kata Islam lho…
Satu lagi, bagaimana dengan kasus TKI di Arab Saudi? TKI
membunuh majikannya karena menyelamatkan diri dari kejahatan majikannya. Siapa
yang mau dipancung? TKI atau majikan?
Jadi, jangan obral negara Islam atau Khilafah deh….kasihan
orang awam seperti saya. Hi..hi..
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment