Hello Katabah!
Pada posting ini, saya
menulis dalil hadits tentang larangan ghashab (dibaca: gosob) yang mana istilah
ini agak sering terdengar diucapkan oleh beberapa pemilik tanah di suatu
kampung ketika sebagian tanahnya ingin digunakan untuk jalan umum dengan lebar
sekitar 1 meter.
Menurut buku Bulughal
Maraam (A. Hasan), ghashab adalah merusak, mengambil, mengganggu hak orang
lain. Ini bunyi haditsnya:
مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْاَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللهُ اِيَّاهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ
Artinya:
“Barangsiapa mengambil
sejengkal tanah dengan kedlaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada
hari Qiyamat dari tujuh bumi.” (HR Muttafaq ‘alaih)
Kalau melihat hadits di
atas, ngeri juga sanksinya ya…? Namun, kita tidak boleh salah menerapkan dalil.
Dalil di atas harus dipegang teguh dan ditaati oleh orang-orang yang ingin
menggunakan tanah milik orang lain, termasuk untuk keperluan umum seperti jalan
setapak.
Namun para pemilik tanah
seharusnya jangan menerapkan hadits di atas karena akan menjadi kikir.
Harusnya, pemilik tanah itu ingat pada pahala memberikan waqaf seperti halnya
banyak dilakukan orang yang punya tanah, kemudian memberikannya untuk
pembangunan sekolah, mesjid dan fasilitas umum lainnya.
Kalau penerapan dalil
tidak tertukar, maka harmonislah hidup kita. Tapi ketika menerapkan dalil
tertukar (atau sengaja ditukarkan), maka malapetaka tetap akan “menebas leher”
kita di akhirat.
Belajar Bahasa Arab
Pada dalil larangan
ghashab di atas, saya belajar penggunaan kata benda (isim) jamak dalam bahasa
Arab yang ujungnya berakhiran “wawu-nun” dan “ya-nun”.
Pada hadits di atas, ada
yang menggunakan “ya-nun” seperti pada penggalan:
مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ
(dari tujuh bumi)
Kata “aradhini” (اَرَضِيْنَ)
artinya bumi, termasuk jamak. Bentuk jamak ini menggunakan huruf “ya-nun” di
akhirnya karena ada penyebab jar (kasrah).
Seandainya “aradhini” (اَرَضِيْنَ)
berdiri sendiri, maka akan tertulis “aradhuna” (اَرَضُوْنَ) karena bentuk jamak
dari mufrad “ardhun” (اَرْضٌ).
Lalu, kata “aradhini” (اَرَضِيْنَ)
itu jamak taksir atau jamak mudzakar salim ya…?
Awalnya, saya menyebut
itu sebagai jamak mudzakar salim. Akan tetapi, saya berubah pikiran, sehingga menyebutnya
jamak taksir karena harokat pada huruf “ra” dalam bentuk jamak berbeda dari
bentuk mufradnya (sukun di mufrad, fathah di jamak).
Bagaimana pendapat Anda…?
Artikel Terkait:
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|
No comments:
Post a Comment