Beberapa hari yang lalu,
tulisan saya tanpa sengaja muncul di komunitas penulis online terbesar tanah
air. Tak sengaja? Iya karena ketika menekan tombol Tayang, koneksi internetku
hilang di telan kuota. Judulnya: “Mahasiswa Bunuh Dosen, Tak Aneh!” Tiba-tiba
ada komentar masuk e-mail. Owww ada yang marah! Entah bagaimana jadinya, jika
saya membahas judul: “Saya akan menjadi pembunuh dosen.” hah?
Salah satu komentar yang
membuat saya harus membaca ulang tulisan sendiri adalah “Walaupun dosen ada
yang tidak bertanggung jawab, membunuh dosen itu tetap dilarang dan harus
dihukum seberat-beratnya.”
Saya berbisik di dalam
hati sanubari yang paling dalam: “Memangnya pembunuh dosen itu harus
dipuja-puja diarak di atas Monas bak seorang pahlawan?” Tidak ada debatable,
yang namanya pembunuh, ya harus dihukumlah! Masa pembunuh harus saya bantu
untuk membunuh dosen yang lain lagi?
Begitu juga dengan kasus
pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun (YY) yang sedang marak menjadi bahan penghasilan
para pemberita dan penulis, termasuk saya. Orang lain sibuk mengibarkan “Lilin
untuk Yuyun”. Saya penasaran kenapa tidak terlihat bendera “Lilin untuk PEMERKOSA
Yuyun” ya?
Oleh karena itu, di
menara Katabah ini saya langsung saja kibarkan “Obor Untuk Pemerkosa Yuyun”.
Inginnya lebih besar lagi dari obor, misal: “Kebakaran untuk pemerkosa Yuyun.”
Kan kebakaran itu apinya lebih besar lagi dan bisa lebih terang dari lilin.
Kalau cahaya dari
kebakaran masih kurang, mungkin “Matahari untuk pemerkosa YY” akan lebih terang
lagi.
Jika hanya “lilin untuk
YY” yang ditagarkan, itu terlalu kecil karena toh YY sudah tidak bisa lagi
melihat cahaya lilin. Jangankan cahaya lilin, cahaya matahari juga ia tidak
melihatnya. Eh, ada satu cahaya yang mungkin bisa terlihat oleh sang korban,
yaitu cahaya doa. Makanya: jangan lupa kita mendoakannya ya…!
Tidak cukup demi membela
korban, kita hanya mempertahankan rok mini agar tetap bisa dilihat pria tanpa
kacamata pengaman. Atau hanya memperjuangkan agar “wanita aduhai” dibebaskan
keluar rumah sendirian, apalagi di malam hari.
Kita harus sadar,
membela wanita itu memang sangat penting, tapi jangan berlebihan karena pria
juga harus ‘dibela’ lho…! Penanganan perkosaan harus dilakukan pada calon
pelaku dan sekaligus calon korbannya, tidak cukup hanya satu calon, “enggak
seru tahu Pemilu juga kalau hanya calon tunggal!”
Banyak para pembela HAMMM
(Hak Asasi Mamah Muda Muah) ngotot agar wanita yang diperkosa karena keluar
sendirian di malam hari jangan disalahkan karena semua kesalahan ada di
laki-laki berotak mini. Ah yang benar saja? Bukankah tak ada asap jika tidak
ada api?
Kenapa wanita
berani-beraninya keluar rumah sendirian atau ke tempat sepi sendirian? Kuntilanak
juga tidak berani, makanya Si Kuntil suka bawa-bawa anak dan menjerit-jerit sambil
lompat-lompat ke atas pohon hingga membuat Si Udin kocar-kacir ketakutan. Si
Kuntil minta tolong, eh Si Udin mengira mau diperkosa. “Gila lu Udin!”
Obor untuk pemerkosa itu
lebih penting daripada lilin untuk korban karena korban itu urusannya tinggal
dengan Tuhan saja, sedangkan pemerkosa bisa jadi memperkosa lagi di kemudian
hari.
Oleh karena itu, doa
untuk pemerkosa agar bertaubat tidak kalah pentingnya. Pendidikan atau rehabilitasi
untuk pemerkosa jauh lebih penting lagi agar 10 tahun kemudian para pemerkosa
tidak mengulang lagi aksi kampretnya.
Ingat…! Tulisan ini
jangan mengundang komentar: “Pemerkosa harus dihukum seberat-beratnya.” Ini
komentar yang semprul sesemprul komentar di tulisan “Pembunuh dosen tadi.”
Kalau pemerkosa ya sudah
pasti harus dihukum berat, masa iya harus dirayakan seperti anak sunatan.
Sebagai pria gagah perkasa pilih tanding laki sebanding, saya tidak butuh
diingatkan wajibnya hukuman bagi pemerkosa karena jika tidak dihukum juga, saya
tidak minat memperkosa, apalagi anak kecil bau kencur.
“Ngapain anak kecil,
para gadis dewasa juga masih mau “memperkosa” saya.” upps
Kalau komentarnya
tentang “Hukuman Kebiri atau Mati” itu lebih intelek lagi. Mungkin DPR juga mau
menanggapinya, jika waras.
Hukuman Kebiri juga
jangan ditegakkan karena emosi, kawan!
Seorang dokter spesialis
“harimau” mengatakan bahwa kebiri itu tidak menghilangkan nafsu seksualitas
seseorang secara total. Kak Seto juga khawatir bahwa orang yang dikebiri akan
lebih beringas melakukan kejahatan seksual karena balas dendam atas
pengebiriannya (okezone.com, 11 Mei 2016). Bahkan sumber lain menyatakan bahwa
kekerasan seksual tidak hanya bertumpu pada sekitar “pisang”, masih ada
alat-alat lain yang menjadi alternatif para pelaku sinting melampiaskan nafsu
hewaninya.
Nah, kita harus punya
kajian komprehensif juga tentang ilmu kebiri ini. Jika tidak salah, kambing
kebiri juga tampaknya masih tertarik kepada sang betina.
Kalau pria kebiri masih
berpeluang “menerkam” wanita berarti hukuman kebiri tidak tepat karena walaupun
benteng pertahanan selaput awan wanita bisa aman, tapi nyawa wanita masih tetap
terancam sebab nafsu prianya tidak tersalurkan ke Samudera Pasifik. Saya
khawatir, pria kebiri itu memang tidak mampu mencuri “mahkota” ratu, tapi ia
masih bisa memporak-porandakan benteng pertahanan kerajaan sehingga pakaian
para prajurit, puteri raja dan ratu masih bisa terkoyak-koyak bin
tersobek-sobek. Ini tetap bahaya, bukan?
Atau bisa juga, pria
kebiri menjadi dalang yang suka mewariskan harta karun bejat kepada para “calon
pemerkosa” lain. Ini lebih berbahaya lagi. Dulu, pria tersebut memperkosa
karena keinginan sendiri, setelah dikebiri jadi menyuruh orang lain untuk memperkosa
sebagai ajang balas dendam. Ini perlu juga dideteksi menggunakan stetoskop
dokter spesialis jatuh cinta singa.
Jadi, hukuman kebiri,
mati, seumur hidup atau rehabilitasi harus ditegakkan dengan akal sehat, bukan
isu reaktif dan populis semata. Coba tanyakan:
1. Bagaimana jika
pemerkosa itu anak kita?
2. Bagaimana jika yang
dikebiri itu saudara kesayangan kita?
3. Apakah kita tetap
akan tegas mengebiri darah daging kita?
Jika 3 pertanyaan di
atas bisa dijawab “ya” tanpa perlu mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), maka mungkin kita sudah benar-benar siap menegakkan hukum kebiri dengan
obyektif.
Akan tetapi, ketika
penegakan kebiri masih dikhawatirkan masih ada campur tangan KPK karena hakim
tersayang masih mau diperkosa uang, maka kita harus memperbaiki sistem
penegakan hukum secara menyeluruh.
Hukum potong tangan bagi
pencuri itu memang sangat ngeri bagi
pelakunya. Namun bisa tidak berjalan jika hakimnya dimainkan oleh para anggota
dewan yang mengenakan rompi KPK. Potongan tangan pencuri pengganti yang malang
mungkin akan menjejali pemakaman taman pahlawan.
Jangan katakan: “Hukum
pemerkosa dengan seberat-beratnya!” Ini terlalu reaktif, lebay dan provokatif,
tapi kurang edukatif. Katakan saja: “Hukum pemerkosa dengan seadil-adilnya!”
Mungkin pernyataan kedua ini akan lebih mengerem serbuan asteroid ke bumi dan
mengurangi kesedihan lapisan ozon yang dikabarkan sudah terlalu sering tampil
seksi dengan baju transparannya akibat pembakaran lahan yang lambat
penanganannya dan akibat manusia senang berpesta polusi menembus langit.
Jangan lupakan juga
sumber-sumber yang menyatakan bahwa daerah kemalangan YY itu ibarat Texas di
Amrik sana. Di sana sudah lama dikenal rawan begal barang dan rawan begal
perawan. Pertanyaannya: “Apakah pemerintah setempat tak kuasa mengamankan
isteri-isterinya dari musuh?” Jika kesaksian bejrod-nya moral di sana
sudah lama ada, “mengapa dibiarkan terlunta-lunta hingga film dokumenter horor
YY mencuat?” Ini pasti ada sistem yang tidak beres yang tidak bisa diselesaikan
hanya dengan “lilin”.
Mari kenali akar
penyebab kebejatannya, bukan hanya menabuh genderang benci buta agar rok mini
tidak tertiup angin lagi di bundaran HI!
"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
|
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi |
|