Prodi Sistem Informasi | Belajar HTML dan PHP | Skripsi SI
Pesantren Katabah
1000 Penghafal Quran
Pengobatan Ruqyah Mandiri
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Blog | Kontak | Siap Kerja | Sertifikat | PrivacyPolicy | Inggris Arab | Daftar Isi

Sunday, November 17, 2024

Kuliah S3 Doktoral Seharusnya Membangun Manusia Agar Manusiawi

Belakangan ini muncul isu-isu gelar Doktor yang dianggap kontroversial. Gelar Doktor Bahlil dianggap terlalu cepat oleh sebagian kalangan.

Gelar Doktor HC Raffi Ahmad dianggap illegal. Kampus pemberi Gelar Ph.D. Richard Lee diisukan tidak terakreditasi di Amerika. Kampusnya disebut menyelenggarakan Pendidikan jarak jauh tapi tidak terdaftar di pemerintahan setempat.

Saya sendiri cukup rajin memperhatikan beberapa orang yang lulusan S3 atau sedang menempuh S3 tampaknya mereka terlalu sibuk sehingga kesulitan untuk bersosial.

Kesibukan itu tampaknya juga dilegitimasi karena S3 selayaknya sibuk, ilmunya tinggi dan penelitiannya banyak, ditambah ngejar-ngejar Scopus yang harus mengeluarkan puluhan juta rupiah hanya untuk terbit satu artikel.

Apakah supersibuk itu tidak keliru?

Yang ingin S3 itu bukan hanya orang-orang IQ di atas rata-rata atau yang banyak uang. Justru orang yang tak banyak uang juga mereka ingin upgrade keilmuannya melalui S3.

Bahkan sederhananya mungkin tidak sedikit orang hanya ingin merasakan kuliah S3 itu nikmatnya seperti apa.

Dampak buruk S3 dengan image sangat sibuk, sangat sulit, dan mahal patut diduga memberikan dampak negatif kepada mahasiswa yang belajar dari lulusan S3 supersibuk itu. 

Mahasiswanya juga dibuat supersibuk. Komunikasi membangun kampus tidak sempat karena banyak kerjaan di luar, kalau doktor itu jadi dosen. Lalu apa manfaatnya lulusan S3 untuk orang sekitar?

Doktor-doktor yang supersibuk dikhawatirkan jadi robot karena saat kuliahnya memang tidak diarahkan secara manusiawi (peduli sosial). Bahkan mungkin saja karena sistem perkuliahan doktoral kurang memanusiakan manusia, saat lulus malah fokus mengumpulkan harta, bukan transfer ilmu dan beramal kepada orang lain.

Saya menduga bahwa yang ikut S3 itu kan bukan pengangguran. Mereka harus mengerjakan tugas-tugas S3 di samping pekerjaannya.

Ada juga yang dibebastugaskan, tapi kan tidak semua mahasiswa S3 bisa bebas tugas.

Dengan Fenomena di atas, saya pikir perlu ada pilihan S3, yakni ada kurikulum untuk yang suka supersibuk, ada kurikulum yang bisa dijalani sambil menikmati hidup.

Lulusan S3 supersibuk jangan jadi dosen, tapi jadilah peneliti atau profesi yang tidak banyak berinteraksi dengan manusia.

Lulusan S3 manusiawi jadilah dosen agar komunikasi dengan mahasiswa bisa hangat, semangat membangun kreatifitas mahasiswa. Di samping itu, lulusan ini juga hadirlah di masyarakat untuk berkomunikasi dengan mereka sambil membangun universitas kehidupan yang manusiawi.

Kalau ada S3 yang manusiawi mungkin isu Bahlil, Raffi, dan Richard Lee akan diminimalisir. Mereka orang-orang sibuk, tapi mereka juga ingin merasakan gelar Doktor. Mari ajak mereka dan orang-orang sibuk lainnya untuk S3 yang sesuai dengan keteraediaan waktunya.

Kalau lulusan S3 Supersibuk dianggap berkualitas dalam segala aspek, saya rasa tidak juga. Saya kenal dengan beberapa yang sudah bergelar doktor, tampaknya mereka belum ada kontribusi besar untuk orang-orang sekitar selain mungkin "pengalaman menyusun disertasinya."

Kritik terhadap kurikulum seperti di atas bukan hanya pada doktoral, tapi jenjang Magister pula. Lulusan S2 tidak sedikit yang jadi dosen dan membawa kebiasaan S2-nya yang buruk pula, yakni aku dulu sibuk, masa mahasiswaku malas-malas semua; aku rajin belajar, aku harus marahi mahasiswa karena malas sekali. Sikap buruk itu patut diduga bahwa mereka terlalu sibuk saat S2 dalam keilmuannya. Mereka lupa bahwa mahasiswa itu manusia, bukan file PDF. Mendidik manusia itu harus dengan kehangatan seperti kita menyayangi putra kandung sendiri. 

Dengan jiwa penyayang, seandainya tidak mampu mengantarkan mahasiswa jadi cerdas, semoga mahasiswa bisa tumbuh shaleh, sopan, dan mampu menikmati hidup.

Ikhtiarnya, dosen harus belajar teori pendidikan walaupun tidak menjamin akan jadi dosen pandai mendidik. Karena itu, hadirkanlah bahwa profesi dosen itu ibadah dan mahasiswa itu titipan sebagai ladang amal agar kita kembali kepada Allah dengan selamat. Gak usah merasa muak saat mahasiswa tidak sesuai harapan. Jangan-jangan kehadiran kita juga bikin muak mahasiswa.

"Boleh Konsultasi Masuk Jurusan Sistem Informasi via IG atau Tiktok."
Tips Skripsi Program Studi Sistem Informasi

No comments:

Post a Comment